BAB
I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG MASALAH
Pajak
adalah Kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedang pajak Penghasilan adalah pajak yang
dibebankan kepada penghasilan perorangan , perusahaan atau badan hukum lainnya.
Pajak penghasilan bisa diberlakukan secara progresif, proposional, atau
regresif.[1]
Pajak
Penghasilan merupakan pajak yang dipungut kepada objek pajak atas penghasilan
yang diperolehnya. PPh akan selalu dikenakan terhadap orang atau badan usaha
selaku wajib pajak yang memperoleh penghasilan. Setiap perusahaan jasa maupun
non jasa sebagai wajib pajak diwajibkan untuk membayar pajak. Bagi perusahaan ,
pajak merupakan sumber pengeluaran tanpa adanya imbalan langsung untuk
perusahaan tersebut. Sehingga biasanya banyak perusahaan melakukan upaya untuk
membayar pajak terutangnya sekecil mungkin selama hal tersebut
memungkinkan.Untuk itu penulis akan membahas segala sesuatu yang berkaitan
dengan pajak penghasilan.
- RUMUSAN MASALAH
Dari
uraian latar belakang di atas, dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut
:
- Apakah pengertian dari Pajak Penghasilan ?
- Bagaimana dasar hukum pengaturan dari Pajak Penghasilan ?
- Apa sajakah subjek dari Pajak Penghasilan ?
- Apa sajakah objek dari Pajak Penghasilan ?
- Apakah PTKP dan PKP itu ?
- TUJUAN PENULISAN
Dalam
makalah ini , memiliki tujuan yang hendak dicapai . Adapun yang menjadi tujuan dari
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui pengertian dari Pajak
Penghasilan.
2.
Untuk mengetahui bagaimana dasar hukum
pengaturan dari Pajak Penghasilan.
3.
Untuk mengetahui apa sajakah subjek dari
Pajak Penghasilan.
4.
Untuk mengetahui apa sajakah objek dari
Pajak Penghasilan.
5.
Untuk mengetahui apakah PTKP dan PKP itu.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN
Pajak
Penghasilan (PPh) adalah Pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak Penghasilan
atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Subjek
pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan.
Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang No.
36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak
dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu
tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun
pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun
pajak.
Pajak
Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat
pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut
dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh karena
itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan
berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.[2]
B.
DASAR HUKUM PENGATURAN PAJAK PENGHASILAN
Pajak
Penghasilan (PPh) di Indonesia diatur
pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan penjelasan
pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya
berturut-turut peraturan ini diamandemen oleh :
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
- Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Mulai Juli 2003 sampai Desember 2004,
pemerintah menerapkan sistem pajak yang ditanggung pemerintah yang
diatur dalam :Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2003 danKeputusan
Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003.
Perubahan Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) telah disesuaikan juga beberapa kali dalam:
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun pajak 2005 (sekaligus meniadakan pajak yang ditanggung pemerintah).
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun pajak 2006
- SUBJEK PAJAK PENGHASILAN
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008,
subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
- Orang Pribadi
yaitu
orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
- Harta Warisan Belum Dibagi
yaitu
warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi
menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
- Badan
badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu
dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
- pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
- penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
- pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
- Bentuk usaha tetap
yaitu
bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia,
yang melakukan kegiatan di Indonesia.
Dan yang tidak termasuk Subjek Pajak adalah sebagai berikut :
- Badan perwakilan negara asing;
- Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:
•
bukan warga Negara Indonesia; dan
•
di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan
atau pekerjaannya tersebut;
•
negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
- Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
•
Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
•
tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;
- Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
•
bukan warga negara Indonesia; dan
•
tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.[3]
- OBJEK PAJAK PENGHASILAN
Objek
Pajak Penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk
apapun .
Undang-undang
Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam
pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak darimanapun
asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib
pajak tersebut.
Pengertian
penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari
sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran
terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul
biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangu
Objek
Pajak Penghasilan yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun
termasuk :
a.
penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan
lain dalam Undang-undang Pajak Penghasilan;
b.
hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
c.
laba usaha;
d.
keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
-
keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
-
keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena
pengalihan
harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota;
-
keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,pemecahan atau
pengambilalihan usaha;
-
keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau
penguasaan antara pihak pihak yang bersangkutan;
e.penerimaan
kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f.
bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g.dividen
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h.
royalti;
i.
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j.
penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k.keuntungan
karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
l.
keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m.selisih
lebih karena penilaian kembali aktiva;
n.premi
asuransi;
o.iuran
yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p.tambahan
kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
Objek
Pajak yang dikenakan PPh final Atas penghasilan berupa:
•
bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya;
•
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek;
•
penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta
•
penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Dan
yang tidak Termasuk Objek Pajak adalah sebagai berikut :
- - Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
-
Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
epanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak ybs;
2.
Warisan;
3.
Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham
atau sebagai pengganti penyertaan modal;
4.
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah;
5.
Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan
asuransi beasiswa;
6.
Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai WP Dalam Negeri, koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
-
dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
-
bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham
pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar
kepemilikan saham tersebut;
7.
Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan , baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai;
8.
Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang
tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
9.
Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan
kongsi;
10.
Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama 5
(lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha;
11.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura.
- PTKP DAN PKP
- PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak )
adalah
penghasilan yang menjadi batasan tidak kena pajak bagi wajib pajak orang
pribadi, dengan kata lain apabila penghasilan netto wajib pajak orang pribadi
jumlahnya di bawah PTKP tidak akan terkena pajak penghasilan (PPh) pasal 25 /29
dan apabila berstatus sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai objek
PPh pasa 21 maka penghasilan tersebut tidak akan dilakukan pemotongan PPh pasal
21 .
PTKP
berbeda untuk status pekerja yang berbeda. Sesuai
dengan Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang No. 36 tahun 2008, yang besarnya kemudian
dirubah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012
tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, bagi pekerja yang
belum kawin, PTKP adalah Rp24.300.000.
Catatan:
Lihat juga Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 tentang
Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan
Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa,
dan Kegiatan Orang Pribadi. [4]
·
Bila pekerja kawin, ada penambahan
Rp2.025.000 untuk PTKP.
·
Bila pekerja mempunyai anak, ada
penambahan PTKP sebesar Rp2.025.000 untuk setiap anak dan hanya berlaku sampai
anak yang ketiga.
·
Tidak ada penambahan PTKP untuk anak
ke-empat dan seterusnya.
·
Bila istri bekerja, PTKP pekerja tetap
sama, yaitu Rp24.300.000 dan tarif pajak penghasilan tetap sama.[5]
PERHITUNGAN
STATUS
PEKERJA
|
PTKP
(Rp)
|
Belum
Kawin
|
24.300.000
|
Kawin,
anak 0
|
26.325.000
|
Kawin,
anak 1
|
28.350.000
|
Kawin,
anak 2
|
30.375.000
|
Kawin,
anak 3
|
32.400.000
|
- PKP (Penghasilan Kena Pajak)
Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk
menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Penghasilan Kena Pajak
diperoleh dari pengurangan antara penghasilan bruto wajib pajak dengan
pengurang penghasilan bruto.[6]
Perhitungan
Lapisan Penghasilan
Kena Pajak (Rp)
|
Tarif Pajak
|
Sampai dengan 50 juta
|
5%
|
Di atas 50 juta sd 250
juta
|
15%
|
Di atas 250 juta sd 500
juta
|
25%
|
Di atas 500 juta
|
30%
|
- Jenis Pajak
Secara
umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan
Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah
Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak -
Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola
oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Beberapa
jenis pajak dapat dibagi menjadi :
1.
Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah
pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut atas penghasilan dari semua
orang yang berada di wilayah Republik Indonesia .
Pajak
Penghasilan
Pajak
penghasilan adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut
pada seseorang atas pengahsilan dari semua orang yang berda di wilayah
Indonesia. Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dipungut setiap akhir tahun
atau setelah tahun pajak berakhir. Pajak penghasilan diatur dalam undang-undang
diantaranya adalah:
·
Undang-undang nomor: 7 tahun 1991
tentangperubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak
penghasilan
·
Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang
pembayaran pajak penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak keluar negri
·
UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak
untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang
·
UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No.
9/1994
·
UU No. 7 Tahun 1983 ttg PPh jo. UU No.
10/1994
·
UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No.
11/1994
·
UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah
dengan UU no. 12 Tahun 1994
·
UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai
·
UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah
dengan UU No. 20 tahun 2007
Dalam
Undang-Unadang Pajak Penghasilan sendiri tidak dijelaskan apa yang dimaksud
dengan subjek PPh, namun secara umum pengertian Subjek Pajak adalah siapa yang
dikenakan pajak. UU PPh menegaskan ada tiga kelompok yang menjadi Subjek PPh
yaitu:
a.
Orang pribadi dan warisan yang belum
terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
b.
Badan yang terdiri dari Perseroan
Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainya, BUMN dan BUMD dengan nama dan
dalam bentuk apapun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi Yayasan
atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, dan Bentuk Badan Usaha
lainnya.
c.
Bentuk Usaha Tetap (BUT).
BUT adalah bentuk usaha yang dikenakan
orang pribadi yang tidak beretempat tinggal di Indonesia atau bertempat tinggal
di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang
tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
2.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN
adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang
mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada
dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak,
kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
3.
PajakPenjualan atas Barang Mewah (PPn
BM) Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang
tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak
yang tergolong mewah adalah :
a.
barang tersebut bukan merupakan barang
kebutuhan pokok.
b.
Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat
tertentu
c.
Barang tersebut dikonsumsi untuk
menunjukkan status
d.
Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan
dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
4.
Bea Meterai Bea Meterai adalah pajak
yang dikenakan atas dokumen, dengan menggunakan benda materai atau benda lainya
contohnya dengan menggunakan mesin teraan, pemeteraian, kemudian dan surat
setoran pajak bentuk KPU 35 Kode 006.
5.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB
adalah atas harta tak bergerak yang terdiri atas tanah dan
bangunan (property tax).
6.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah
Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah
Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.
Selain
pajak-pajak yang dikelola pemerintah daerah diatas juga terdapat pajak yang
dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara
lain:
1.
Pajak Propinsi
a.
Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan
Diatas Air,
b.
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan Diatas Air
c.
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d.
Pajak Pengambilan dan pemanafaatan Air
bawah tanah dan air permukaan,
2.
Pajak Kabupaten Kota
a.
Pajak Hotel,
b.
Pajak Restoran,
c.
Pajak Hiburan,
d.
Pajak Reklame,
e.
Pajak Penerangan Jalan,
f.
Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
g.
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air
Bawah Tanah dan Air Permukaan
Selain
yang dibahas diatas, dalam parktek sering dikenakan pungutan yang disebut
sumbangan wajib. Sumbangan wajib biasanya tidak memiliki kejelasan balas jasa
maupun imabalanya. Sumbangan atau sumangan wajib yang didasarkan atas ketentuan
yang sah dan hasilnya masuk ke kas negara maka pungutan tersebut merupakan
pungutan yang legal.
- Dasar Hukum
·
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
·
Undang-undang No. 10/1994 Undang-Undang
Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak
Penghasilan. Pasal 4 ayat (2). “ Atas Pengasilan berupa bungan deposito dan
tabungan dan tabungan-tabungan lainya, penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas lainya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harat
berupa tanah dan atau tabungan serta pengasilan tertentu lainya,
pengenaan pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah.
·
Undang-Undang Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan.
·
Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentang
perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan
·
Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang
pembayaran pajak penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak keluar negri
·
UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak
untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang
·
UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No.
9/1994
·
UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No.
9/1994
·
UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No.
11/1994
·
UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah
dengan UU no. 12 Tahun 1994
·
UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai
·
UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg
diubah dengan UU No. 20 tahun 2007
- Manfaat Pajak
Sebagaimana
halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara
juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan
sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara
sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari
belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan.
Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah
sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal
dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan
rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat
dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan
dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak.
Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi
sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan
pembangunan.
Disamping
fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi
redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang
lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu
tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara
baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi
pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada
dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.
BAB III
Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 22
A. PENGERTIAN
PPH PASAL 22
Pph Pasal 22 Adalah
Pemungutan Pajak Yang Di Lakukan Atas Pembelian Barang, Impor Barang
Dan Pembelian / Penjualan Barang Di Bidang Usaha Tertenu. Oleh Karna
Itu Yang Dilakukan Pemungukan Pph Pasal 22 Adalah Pemasuk Barang
Kepada Pemerintah , Impor Dan Pemasok/Beli Barang Dari Badan-Badan Tertentu.
Pajak Penghasilan (PPH) Pasal 22 Adalah Pph Yang Di Pungut Oleh :
1. Bendahara
Pemerintah Pusat / Daerah, Instansi Atau Lebaga Pemerintah Dan Lembaga-Lembaga
Negara Lain, Berkenan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang .
2. Badan
Badan Tertentu , Baik Badan Pemerintah Maupun Swasta Berkenan Dengan Kegiatan
Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain.
3. Wajib
Pajang Badan Yang Melakukan Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah.
B. OBJEK
DAN PEMUNGUT PPH PASAL 22
Berikut
Merupakan objek Dan Pemungut Pph Pasal 22 :
NO.
|
OBJEK
|
PEMUNGUT
|
1
|
Pembelian Barang Oleh Bendaharawan Pemerintah Dan DJA
(Direktorat Jendral
Anggaran)
|
Pihak Yang Membayar Atau Membeli :
§ Bendaharawan Pemerintah
§ DJA
|
2
|
Pembelian Barang Oleh BUMN/BUMD Yang Bersumber Dari Dana APBN
Dan Atau APBD
|
BUMN/BUMD
|
3
|
Pembelian Barang Oleh Badan Tertentu Yang Bersumber Dari Dana
APBN Maupun Non APBN
|
Badan Tertentu
|
4
|
Impor Barang :
- Dilakukan Oleh
Impoter Yang Memiliki API
- Dilakukan
Oleh Impoter Yang Tidak Memiliki API
- Yang Tidak
Dikuasai (Lelang)
|
- Direktorat
Jenderal Bead An Cukai (DJBC)
- BANK Devis
|
5
|
Pembelian Bahan Untuk Indutri Tertentu Atau Eksportior Dari
Pedagang Pengumpul
|
Industri Tertentu Yang Bergerakdi Bidang Pertanian.Perkebunan
Dan Perikanan.
|
6
|
Penjualan Bahan Bakar, Minyak, Gas Dan Pelumas
|
Produsen Atau Impoter Bahan Bakar Minyak, Gas, Dan Pelumas
|
7
|
Penjualan Barang Yang Terglong Mewah
|
Wajib Pajak Badan Yang Melakukan Penjualan Tersebut.
|
8
|
Penjualan Hasil Industry Tertentu :
- Kertas
- Baja
- Otomotif
- Semen
- Roko
|
Industry Tertentu Yang Menjual
|
C. TARIFF PPH PASAL
22
Berikut Merupkan
Tarif Pph Pasal 22, Antara Lain :
NO.
|
OBJEK
|
TARIF
|
1
|
Pembelian Barang Di Lakukan
Oleh DPBJ, Bendahara Pemerintah, BUMN/D Dan Badan Tertentu
|
1,5%
|
2
|
Impor Barang :
- Yang
Menggunaka API
- Yang
Tidak Menggunakan API
- Yang
Tidak Dikuasai (Lelang)
|
2,5%
7,5%
7,5%
|
3
|
Pembelian Bahan Bahan Untuk Industry
/ Ekspor Dari Pedagang Penjual
|
2,5%
|
4.
|
Penjualan Oleh Pertamina :
- Premium,
Solar, Premix, Super TT
- Minyak
Tanah , LPG, Pelumas
|
0,25%
0,3%
|
5
|
Penjualan Oleh Selain
Pertamina :
- Premium,
Solar, Premix, Super TT
- Minyak
Tanah , LPG, Pelumas
|
0,3%
0,3%
|
6
|
Penjualan Hasil Industry
Tertentu :
- Kertas
- Baja
- Otomotif
- Semen
- Roko
|
0,1%
0,3%
0,45%
0,25%
0,15%
|
Selain Tarifdi Atas,Peraturan
Mentri Keuangan nomor 253/PMK.03/2008 Tanggal 1 Desember 2008 Juga Mengatur
Tentang Wajib Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pph Pasal 22 Atas Penjualan
Barang Yang Tergolong Sangat Mewah Yaitu Wajib Pajak Badan Yang Melakukan
Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah, Diantaranya :
a) Pesawat
Udara Pribadi Dengan Harga Jual Lebih
Dari Rp.20.000.000.000,00 ( Dua Puluh Meliar Rupiah)
b) Kabel
Pesiar Dan Sejenisnya Dengan Harga Jual Leih Dari Rp.10.000.000.000,00 (
Sepuluh Meliar Ruiah)
c) Rumah
Berserta Tanahnya Dengan Harga Jual Atau Harga Penggalihannya Lenih Dari
10.000.000.000,00 ( Sepuluh Meliar Rupiah) Dan Luas Bangunan Lebih Dari 500 M2
d) Apartemen,
kondominium,dan sejenisnya dengan harga jauh atau pengalihannya lebih dari Rp.
10.000.000.000,00 ( sepuluh meliar rupiah)dan/bangunan lebih dari
400 m2.
e) Kendaraan
bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep,sport utilty vehicle (SUV), Multi purpose vehicle(MPV),
minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp. 5.000.000.000,00 (lima
meliar rupiah) dan dengan kapasitas
silinder 5% dari harga jual tidak
termasuk PPN dan PPNBM,
Selain
tarif pajak yang tercantumdi atas,terdapat tariff sebagai berikut :
- Impor
kedelai, gandum dan tepung terigu dan importer yang menggunakan API sebesar
0,5%.
- Untuk
wajib pajak yang tidak dimiliki NPWP maka pajak dipungut 100% lebih tinggi dari
tariff pph pasal 22.
D. PENGECUALIAN
PENGGUNAAN PPH PASAL 22
Berikut merupakan bukan
objek pph pasal 22, sebagai berikut :
1. Impor
barang atau penyerahan barang yang berdasaran ke tentuan peraturan perundang
undangan tidak terutang pph. Dinyatakan dengan surat keterangan bebas (SKB)
2. Impor
barang yang di bebaskan dari bea masuk dan atau pajak pertambahan niali;
dilaksanakan oleh DJBC.
3. Impor
sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksutkan untuk di sepor
kembali dan dilakukan oleh dirijen BC.
4. Pembayaran
atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainya yang jumlahya paling
banyak Rp. 2.000.000 ( dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang
terpecah-pecah.
5. Pembayaran
untuk pembelian bahan bakar minyak , listrik, gas, air minum/PDAM, berbeda-beda
pos.
6. Emas
batangnya yang akan di prosesuntuk megenghasilkan barang prhiasan dari
emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
7. Pembayaran/pencarian
dana jaring pengaman social kantor pembendaharaan dank as Negara.
8. Impor
kembali dalam kualitas yang sama atau barang barang yang telah di
ekspor untuk keperluan perbaikan pengerjaan dan pengujian yang memenuhi syarat
yang di tentukan oleh direktorat jendral bae dan cukai.
9. Pembayaran
untuk pembelian gabah dan atau beras oleh bulog.
E. SAAT TERUTANG DAN
PELUNASAN/PEMUNGUTAN PPH PASAL 22
1. atas
impor barang terutang dan di lunasi bersamaan dengan saat pembayaran bea
masuk.dalam hal pembayaran bea masuk di tunda atau dibebaskan maka pph pasal
22terutang dan dilunasi pada saat penyelesayan dokumen pemberitahuan impor
barang (PIB)
2. Atas
pembelan barang (lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 3,2 dan 4)
terutang dan dipungut pada saat pembayaran .
3. Atas
penjuaan hasil produksi ( lihat pemungut dan objek pph
pasal 22 butir 5)terutang dan di pungutpada saat penjualan.
4. Atas
penjuaan hasil produksi ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 6) di
pungut pada saat pemberitahuan surat perintah pengeluaranbarang ( delvery
order).
5. Atas
pembelian bahan-bahan ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir
7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.
F. TATACARA
PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PPH PASAL 22
PPH PASAL 22 ATAS impor barang (ihat pemungut dan objek pph pasal
22 butir 1) di setor oleh importer dengan menggunakan formulir surat setoran
pajak, cukai dan pabean . pph pasal 22 atas Impor barang yang di pungut oleh
DJBC hars di setor ke BANK Devisa. Atau bendahara direktoratjendral bead an
cukai, dalam jangka waktu 1hari setelah pemungutan pajak di laporkan ke :
1) KPP
secara mingguan paling lambat 7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak ter
ahkir
2) Pph
pasal 22 atas impor harus di lunasi bersamaan dengan saat
pembayaran bea masuk dan dalam hal bea ditunda atau dibebaskan, pph pasal 22
atas impor harus di lunasi saat penyelesayan dokumen pemberitahuan pabean impor
. dilaporkan ke KPPpaling lambat tanggal 20 setelah masa pajak terahkir.
3) Pph
pasal 22 atas pembelian barang ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 2)
disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP wajip pajak rekanan ke bank
persepasi atau kantor pos pada hari yang sama dengan
pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut penerbitkan
bukti pungutan rangkap 3 yaitu :
a) Lembar
pertama untuk pembeli
b) Lembar
ke dua untuk lampiran laporan bulanan ke kantor pelayanan pajak
c) Lembar
ke tiga untuk arsip pemungut pajak yang bersangkutan dan dilaporkan
ke KPP paling lamat 14 hari setelah masa pajak berahkir.
4) Pajak
pph 22 atas pembelian barang ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 3)
di setor oleh pemungut atas nama dan NPWP ke bank persepsi atau kantor pos
paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berahkir. Di
laporkan ke KPP paling lambat tanggal 20 setelah masa pajak
berahkir.
5) Pph
pasal 22 pembelian barang ( lihat pemungut pajak dan objek pph pasal 22 butir
4) di setor oleh pemungut atas nama dan NPWP wjib pajak
penjual kebank persepasi atauu kantor pos paling lambat tanggal 10 bulan takwin
berikutnya dengan menggunakan formulir ssp dan menyampaikan spt masa ke saling
lambat 20 hari setelah masa pajak berahkir.
6) Pph
pasal 22 atas penjualan hasil produksi (lihat pemungut dan objek pph pasal 22
butir 5 dan 7) dan hasil penjualan barang sangat mewah (lihat
pemungut dan objek pph pasal 22 butir 8) di setor ooleh pemungut atas nama
wajib pajak ke bank perserpsi atau kantor pos paling lambat tanggal
10 bulan takwin berikutnya dengan menggunakan formulir ssp. Pemungut
menyampaikan spt masa ke kpp paling lambat 20 hari setelah masa pajak berahkir.
7) Pph
pasal 22 penjualan hasil produksi (lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir
6)di setor oleh pemungut ke bank perserpsi atau kantor pos paling lama tanggal
10 bulan berikutnya setelah masa pajak berahkir. Pemungut wajib memberikan
bukti pemungutan pph pasal 22 rangkap 3 yaitu :
a) Lembar
pertama untuk membeli;
b) Lembar
kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada kantor pelayanan pajak ;
c) Lembar
ketiga untuk arsip pemungut pajak yang bersangkutan ;
Pelaporan di
gunakan dengan cara menyampaikan spt masa ke kpp
setempat paling lambat 20 hari setelah masa pajak berahkir. Dalam hal
jatuh tempo penyetoran atau batas ahkir pelaporan pph pasal 22 bertepatan dengan
hari libur termasuk hari sabtu dan hari libur nasional penyetoran atau laporan
dapat di lakukan pada hari kerja berikutnya.
G. CARA MENGHITUNG PPH PASAL 22
1. Cara
menghitung pph pasal 22 atas kegiatan impor barang
Besarnya pph
atas impor:
Yang menggunakan angka pengenal
importer (AIP) tarif pemungutan sebesar 2,5% dari nilai impor.Pph
pasal 22 = 2,5% x nilai importer
yang tidak menggunakan angka
pengenal importer (AIP) tariff pemungutannya sebesar
7,5% dari nilai impor Pph pasal 22
= 7,5%x nilai importer.
Yang tidak di kuasai
tarif pemungutannya sebesar 7,5% dari harga jual lelang pph pasal 22
= 7,5%x harga jual lelang.
Catatan
Yang di maksut dengan
niali impor adalah nilai berupa uang yang di gunakan sebagai dasar perhitungan
bea masuk . niali impor di hitung sebesar cost insurance freight ( CIF ) + bea
masuk +pemungutan pabean lainnya.
Ø CONTOH SOAL
1
PT 11
AKUNTANSI memiliki nomor API, malakukan impor komputer
dari amerika serikat dengan perincian sebagai berikut :
1) Harga
komputer (cost)………………………………………. US $20.000,-
2) Asuransi
( insurance) …………………………………………...US $1.000,-
3) Biaya
angkut (freight)…………………………………………. US $4.000,-
4) Harga
pabean …………………………………………………US $25.000,-
Pungutan :
- Bea
masuk 20% ……………………………………………………….. US $5.000,-
- Bea
masuk tambahan 10% …………………………………………….US $2.500,-
NIALI IMPOR………………………………………………………………
US $32.500,-
Apabila pada tanggal
impor ( sesuai dokumen impor : pemberitahuan impor barang ) nilai kurs US
$1.00,- = 10.000,- maka :
- Dasar
pengenaan pph pasal 22 : US$ 32.500 X 10.000 = 325.000.000,-
- Pph
pasal 22 yang harus di pungut 325.000.000 x 7,5% = 24,375,000,-
2. Cara menghitung pph pasal 22 atas pembelian barang yang di biayai
dengan APBN/APBD
Pph pasal 22 = 1,5% x
harga perolehan
Atas pembelian barang
yang dananya dari belanja Negara atau belanja dari daerah di kenalkan
pemungutan pph pasal 22 sebesar 1,5% dari harga pembelian. Pembayaran barang
yang dikecualikan dari pemungutan pph pasal 22 adalah :
Pembayaran
atsa penyerahan barang ( bukan merupakan jumlah yang di pecah-pecah) yang
meliputi jumlah barang dari 1.000.000,-
Pembayaran untuk
pembelian bahan bakar, mnyak listrik, gas, air minum, dan benda-benda pos.
Pembayaran
/ pencairan dana jaring pengaman social (JPS) oleh kantor pembendaharaan dank kas
Negara.
Ø CONTOH SOlAL
2.
PT.
MAJU MUNDUR Melakukan penjualan lemari arsip ke pada
departemen dalam negri senlai 220 juta. Pembayaran di lakukan oleh bendaharawan
depdagri. Dalam kontak penjualan dengan pemerintah yang di danai
dari APBN/APBD biasanya harga jual sudah
termasuk pajak prtambahan nilai sebesar 10%
Diminta :
hitunglah pph pasal 22 PT MAJU MUNDUR
jAWABAN
- dasar
pengenaan pph pasal 22 : (100 x 220 juta) = 200.000.000,-
- pph
pasal 22 yang di pungut oleh bendaharawan pemerintah dari transaksi pembayaran
200.000.000,- x 1,5% = 3.000.000,
1. CARA MENGHITUNG PPH PASAL 22 ATAS PENJUALAN HASIL PRODUKSI
INDUSTRI OTOMOTIF DI DALAM NEGERI.
Besarnya pph pasal 22
atas penjualan semua jens kendaraan bermotor beroda 2 atau lebih di dalam
negri adalah 0,45% dari dasar pengenaan pajak pertambahaan niali
Pph pasal 22 = 0,45% x
DPP PPN
Penjualan kendaraan
berotor yan di kecualikan dari pemungutan pph passal 22 atas industry
otomotif ini adalah penjualan kendaraan bermotor kepada :
- Instansi pemerintah
- Korps
diplomatic
- Bukan
sumber pajak
2. CARA MENGHITUNG PPH PASAL 22 ATAS PENJUALAN PRODUKSI INDUSTRI
ROKOK DI DALAM NEGERI
Besarnya pph pasal 22
yang wajib di pungut oleh industry rokok pada saat penjualan rokok
di dalam negri adalah 0,15% dari harga bandrol ( pita cukai) dan
bersifat final .
Pph pasal 22 (final) =
0,15% x harga bandrol
3. CARA
MENGHITUNG PPH PASAL 22 ATAS PENJUALAN HASIL PRODUKSI INDUSTI KERTAS
DI DALAM NEGRI
Besar pph pasal 22 yang
wajib di pungut oleh industry kertas pada saat penjualan kertas di dalam
negri adalah 0,1% dari dasar pengenaan pajak (DPP) pajak
pertambahan nilai.
Pph pasal 22 = 0,1% x DPP
PPN
4. CARA
MENGHITUNG PPH PASAL 22 ATAS PENJUALAN HASIL PRODUKSI INDUSTRI SEMEN DI DALAM
NEGRI
Besarnya pph pasal 22
yang wajib di pungut oleh industri semen pada saat penjualan semen di dalam
negri adalah 0,25% dari dasar pengenaan pajak ( DPP) pajak pertambahan nilai.
Pph pasal 22 =
0,25% x DPP PPN
Yang di kecualikan dari
pemungutan pph pasal 22 adalah penjualan semen dalam negri oleh PT
INDOCEMEN , PT SEMEN CIBINONG dan PT SEMEN
NUSANTARA kepada distributor utama/tuggalnya.
1. CARA MENGHITUNG PPH PASAL 22 ATAS PENJUALAN HASIL PRODUKSI
INDUSTRI BAJA DI DALAM NEGERI
Besarnya pph pasal 22
yang wajib di pungut oleh industry baja pada sat penjualan hasil produksinya
di dalam negri adalah 0,3% dari dasar pengenaan pajak (DPP) pajak pertambahan
nilai
Pph pasal 22 = 0,3% x DPP
PPN
2. CARA MENGHTUNG PPH PASAL 22 YANG DI PUNGUT OLEH PERTAMINA DAN
BADAN USAHA SELAIN PERTAMINA
Besarnya pph pasal 22
yang wajib di pungut oleh pertamina dan badan usaha lainnya yang
bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas
atas penjualan hasil produksinya adalah sebagai berikut :
1) Atas
penebusan premium , solar, premix/super TT oleh SPBU swastanisasi adalah 0,3%
dari penjualan .
Pph
pasal 22 = 0,3% x penjualan
2) Atas
penebusan premium, solar, premix, oleh SPBU pertamina adalah 0,25% dari
penjualan.
Pph
pasal 22 = 0,25% x penjualan.
3) Atas
penjualan minyak tanah , gas, LPG, dan pelumas adalah 0,3% dari penjualan
Pph
pasal 22 = 0,3% x penjualan
A. Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Pemotong dan Penerima
Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23
1. Pemotong PPh Pasal 23:
a. badan pemerintah;
b. Wajib Pajak badan dalam negeri;
c. penyelenggaraan kegiatan;
d. bentuk usaha tetap (BUT);
e. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
f. Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
b. Wajib Pajak badan dalam negeri;
c. penyelenggaraan kegiatan;
d. bentuk usaha tetap (BUT);
e. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
f. Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
a. WP dalam negeri;
b. BUT
b. BUT
Tarif dan
Objek PPh Pasal 23 dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari
jumlah bruto dan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
Saat Terutang,
Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 23.
a. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
b. PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.
c. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Bukti Pemotong PPh Pasal
23
Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.
B. Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 23
Perubahan pada
penghasilan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah dihapuskannya Pasal 23
ayat (1) huruf b yaitu pengenaan PPh Pasal 23 yang bersifat final sebesar 15%
(lima belas persen) dari jumlah bruto atas bunga simpanan yang dibayarkan
oleh koperasi. Jenis penghasilan lainnya tetap yaitu, dividen, bunga royalti,
hadiah dan penghargaan selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21, sewa, imbalan
jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan dan “jasa lain”
selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Penentuan “jasa lain” dalam UU PPh
yang baru diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan, sementara dalam ketentuan
lama, penentuannya dilakukan oleh Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Jenis-jenis penghasilan
yang dikecualikan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23, sebagaimana diatur
dalam Pasal 23 ayat (4) adalah sebagai berikut :
1. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada
bank (tidak berubah)
2. sewa
yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi (tidak berubah)
3. dividen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (2c) (ketentuan baru dalam frasa berwarna biru)
4. bunga
obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j (ketentuan ini
dihapus sesuai dengan perubahan di Pasal 4 ayat (3) Undang-undang PPh)
5. bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf i (tidak berubah)
6. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggotanya (tidak berubah)
7. bunga
simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya (ketentuan ini
dihapus sehingga pengenaan PPh nya kembali pada ketentuan Pasal 23 ayat (1)
huruf a, atau akan dikenakan PPh Final tersendiri berdasar Pasal 4 ayat(2)?)
8. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada
badan usaha atas jasa keuangan yangberfungsi sebagai
penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang
diatur denganPeraturan Menteri
Keuangan (ketentuan ini sama sekali baru, nampaknya untuk memberikan
keadilan antara bank dan lembaga keuangan yang kegiatan usahanya mirip dengan
bank).
C. Tarif PPh Pasal 23
Dalam ketentuan lama,
struktur tarif PPh Pasal 23 adalah sebagai berikut :
1. Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan
bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan berupa dividen, bunga,
royalti dan hadiah dan penghargaan selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21.
2. Tarif 15% x Penghasilan Bruto
dan bersifat final dikenakan
kepada bunga simpanan yang dibayarkan koperasi yang jumlahnya melebihi
Rp240.000,- sebulan.
3. 15% (lima belas persen) dari
perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta; dan imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,
jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Ketentuan mengenai jenis
penghasilan dan besarnya perkiraan penghasilan neto diatur dalam Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-70/PJ/2007. Silahkan klik Daftar Tarif PPh Pasal 23 untuk
mengetahuinya.
Dalam ketentuan baru
Undang-undang Pajak Penghasilan, struktur tarifnya adalah sebagai berikut :
1. Tarif
15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan
berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah, penghargaan
dan bonus selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21.
2. Dihapus
3. sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
· sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2); dan
· imbalan sehubungan
dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang
telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21.
Dari paragraf di atas
bisa kita simpulkan bahwa pada point 1 tidak mengalami perubahan berarti.
Pada point 2, PPh Pasal 23 Final atas bunga simpanan koperasi dihapuskan.
Ketentuan mengenai bunga koperasi nampaknya akan masuk pada point 1 di mana
dikenakan PPh Pasal 23 tidak final sebesar 15% dari penghasilan bruto tanpa ada
pembatasan jumlah bunga yang selama ini kita kenal.
Kalau kita cermati pada
point 3, sebenarnya tak ada perubahan dari jenis penghasilannya. Yang
berubah adalah tarifnya!. Selama ini PPh Pasal 23 ini dikenakan tarif 15% ini
dari Perkiraan Penghasilan Neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto ini
ditetapkan oleh Keputusan/Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Tahun 2009 nanti
kita nampaknya harus mengucapkan selamat tinggal pada kata “perkiraan
penghasilan neto” ini. Ya, mulai tahun 2009 nanti tarif PPh Pasal 23 hanya satu
saja yaitu 2% dari penghasilan bruto. Lumayan kan, kita tak perlu lagi pusing
dengan jenis-jenis jasa dan tarifnya yang banyak itu . Kita tinggal menunggu jenis “jasa lain” yang akan diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan yang selama ini penentuan jenis “jasa lain” ini
menjadi hak Direktur Jenderal Pajak.
Tarif Lebih Tinggi Bagi
Wajib Pajak Tak Ber-NPWP
Berdasarkan Pasal 23 ayat
(1a) Undang-undang Pajak Penghasilan yang baru, Wajib Pajak yang menerima
atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan
tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka besarnya tarif pemotongan
PPh Pasal 23 adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada
tarif PPh Pasal 23 umumnya. Saya
menafsirkan ketentuan ini sebagai berikut. Jika bagi Wajib Pajak yang berNPWP
dikenakan tarif 15%, maka bagi yang tidak berNWP akan dikenakan tarif 30%.
Begitu juga jika Wajib Pajak berNPWP dikenakan tarif 2% maka bagi yang tidak
berNPWP menjadi 4%.
2.3 Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 24
A. Pengertian PPh Pasal 24
Pada dasarnya PPh Pasal
24 mengatur tentang besarnya kredit pajak yang dapat diperhitungkan atas
pemotongan pajak/ pajak yang dibayar/ pajak yang terutang di luar
negeri. Hal ini sesuai dengan ayat 1 dan 2 Pasal 24 UU PPh :
1. Pajak yang
dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap
pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
2. Besarnya
kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh
melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dengan perubahan terakhir dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan,
Pasal 24 ayat (1), PPh pasal 24 adalah pajak yang dibayarkan
atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima
atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang
terutang berdasarkan Undang-Undang ini dalam tahun pajak yang sama.
Pajak penghasilan pasal
24 atau kredit pajak luar negeri, merupakan perhitungan berapa besar jumlah
pajak yang sudah dibayar atas penghasilan diluar negeri dan pajak
tersebut dapat dikreditkan atau dikurangkan dari penghasilan yang ada
didalam negeri sehingga menghindari pengenaan pajak berganda.
B. Subjek
dan Objek PPh Pasal 24
Yang menjadi Subjek PPh
Pasal 24 adalah: Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh
penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.
Objek PPh pasal 24 adalah
penghasilan yang berasal dari luar negeri
C. Penentuan
Sumber Penghasilan PPh Pasal 24
Dalam menghitung batas
jumlah pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang
boleh dikreditkan, perlu diperhatikan penentuan sumber penghasilan sebagai
berikut:
1. Penghasilan
dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan
sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau
sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.
2. Penghasilan
berupa bunga, royalti dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta bergerak
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti atau sewa
tersebut bertempat kedudukan atau berada.
3. Penghasilan
berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah
negara tempat harta tersebut terletak.
4. Penghasilan
berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara
tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan
atau berada.
5. Penghasilan
bentuk usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
6. Penghasilan
dan pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta
dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah Negara
tempat lokasi penambangan berada.
7. Keuntungan
karena pengalihan harta tetap adalah Negara tempat harta tetap itu berada.
8. Keuntungan
karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap
adalah Negara tempat bentuk usaha tetap itu berada.
D. Penggabungan
Penghasilan yang berasal dari luar negeri
Penggabungan penghasilan
dari luar negri dilakukan sebagai berikut:
1. Untuk
penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan
tersebut;
2. Untuk
penghasilan lainnya, seperti penghasilan bunga, sewa, dan lainnya dilakukan
dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut;
3. Untuk
penghasilan berupa deviden untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak,
maka terhadap penanaman modal diluar negri selain pada badan usaha yang menjual
sahamnya dibursa efek, Menteri Keuangan berhak untuk menentukan saat
diperolehnya deviden.
Jadi, Pajak Penghasilan
dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan seluruh
penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh Wajib Pajak, baik penghasilan
tersebut berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam menghitung
Pajak Penghasilan, maka seluruh penghasilan tersebut digabungkan dalam tahun
pajak di peroleh atau diterimanya penghasilan, atau dalam tahun pajak.
Contoh Soal ...
a. Hasil
usaha di Filipina dalam Tahun Pajak 2005 sebesar Rp. 600.000.000,-
b. Dividen
atas pemilikan saham di Cicago Ltd di USA sebesar Rp. 400.000.000,- yaitu
berasal dari keuntungan tahun 2004 yang ditetapkan dalam RUPS (Rapat Umum
Pemegang Saham) dan dibayar tahun 2005
c. Dividen
atas penyertaan saham sebanyak 75% pada Smith Corporation di Australia yang
sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp. 80.000.000,- yaitu
berasal dari keuntungan saham 2004 yang berdasarkan Kepmenkeu ditetapkan
diperoleh tahun 2005.
d. Bunga
kwartal IV tahun 2004 sebesar Rp. 200.000.000,- dari Malaysia yang baru akan
diterima bulan Mei Tahun 2005.
Jawaban ....
Dari penghasilan yang
bersumber dari luar negeri di atas, maka penghasilan yang digabungkan dengan
penghasilan dalam negeri untuk tahun 2004 adalah butir a s/d c, sedangkan butir
d digabungkan dengan penghasilan dalam negeri tahun 2005.
D. Besarnya Kredit Pajak Luar Negeri yang boleh dikreditkan
Jumlah kredit pajak luar
negeri yang diperbolehkan hanya atas pajak yang langsung dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari luar negeri, dan
setinggi tingginya sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar
negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan
antara penghasilan dari luar negeri terhadap penghasilan Kena Pajak dikalikan
dengan pajak yang terutang atas penghasilan kena pajak, atau
setinggi-tingginya sama dengan pajak yang terutang atas penghasilan Kena Pajak
dalam hal penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.
Maksimum Kredit
Pajak = Penghasilan
LN x Pajak terhutang tahun
berjalan
PKP
*Bandingkan antara
“Maksimum Kredit Pajak dan Pajak Yang Terutang/Dibayar di luar
negeri” (pilih yang terkecil).
Contoh :
PT Lestari berkedukan di
Semarang, mempunyai penghasilan kena paja dari Indonesia sebesar Rp.
130.000.000,- dan penghasilan kena pajak dari Jepang sebesar Rp. 70.000.000,-.
Hitunglah kredit pajak jika tarif yang berlaku di Jepang 10%.
PPh berdasarkan tarif
Pasal 17 :
10%
x Rp. 50.000.000,- =
5.000.000,-
15%
x Rp. 50.000.000,- =
7.500.000,-
30%
x Rp. 100.000.000,- = 30.000.000,-
PPh
42.000.000,-
PPh yang dibayar di
Jepang 10% x 70.000.000,- = Rp. 7.000.000,-
Bagian penghasilan di
Korea :
( Rp. 70.000.000,-/Rp.
200.000.000,- ) x Rp. 42.500.000,- = Rp. 14.875.000,-
Kredit pajaknya adalah
mana yang lebih kecil antara PPh dibayar di luar negeri dengan bagian
penghasilan di negara tersebut yaitu sebesar Rp. 7.000.000,-
F. Mekanisme
Pengkreditan PPh yang Dibayar di Luar Negeri
Menurut Keputusan Menteri
Keuangan (164/KMK.03/2002)
1. Pajak
Penghasilan yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dapat dikreditkan dengan
Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.
2. Pengkreditan
PPh yang dibayar di Luar Negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam tahun pajak
digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di
Indonesia.
3. Jumlah
PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih rendah
di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan jumlah yang
dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri dan seluruh
Penghasilan Kena Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh
Penghasilan Kena Pajak dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian
(Penghasilan dari LN lebih besar dari jumlah Penghasilan Kena Pajak).
4. Apabila
penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan
PPh Pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.
5. Penghasilan
Kena Pajak (PKP) yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2000 ) dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri (Pasal 8
ayat (1 dan 4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) tidak dapat digabungkan
dengan penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari Dalam Negeri maupun dari
Luar Negeri.
6. Dalam
hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi PPh Pasal 24
yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di tahun
berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi.
7. Untuk
melaksanakan prengkreditan PPh Luar Negeri, wajib pajak wajib menyampaikan
permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh, dilampiri
dengan ;
i. Laporan
Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri
ii. Foto
kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
iii. Dokumen
pembayaran PPh di luar negeri.
8. Atas
permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian
lampiran-lampiran di atas, karena alasan-alasan di luar kekuasaan wajib pajak.
9. Dalam
hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib
pajak harus melakukan pembetulan SPT Tahunan yang bersangkutan dengan
melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
10. Apabila karena
pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang dibayar, maka atas kekurangan
bayar tersebut tidak dikenakan sanksi bunga.
11. Apabila karena
pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas kelebihan tersebut
dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak
lainnya.
G. Pengurangan/pengembalian
pajak penghasilan luar negeri
Dalam hal terjadi
pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di Luar
Negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi
lebih kecil daripada kredit pajak Luar Negeri semula, maka selisihnya
ditambahkan pada pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib
pajak dalam negeri pada tahun terjadinya pengurangan atau pengembalian
tersebut.
H. Perubahan
besarnya penghasilan luar negeri
Apabila terjadi perubahan
besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib pajak harus melakukan
pembetulan SPT untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan melampirkan dikumen
yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
1. jika
karena perubahan tersebut, menyebabkan adanya tambahan penghasilan yang
mengakibatkan pajak yang terutang atas penghasilan luar negeri menjadi lebih
besar daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak yang terutang
di Luar Negeri menjadi kurang bayar, maka terdapat kemungkinan pajak
penghasilan di Indonesia juga kurang bayar. Sesuai dengan UU No. 28 tahun 2007
tentang ketentuan Umum dan tatacara perpajakan, apabila WP membetulkan sendiri
SPT yang mengakibatkan pajak yang terutang menjadi lebih besar, maka kepadanya
dikenakan bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar,
dihitung sejak saat penyampaian SPT terakhir sampai dengan tanggal pembayaran
karena pembetulan SPT tersebut.
2. Apabila
karena pembetulan SPT tersebut, menyebabkan penghasilan dan pajak atas
penghasilan yang terutang di luar negeri menjadi lebih kecil daripada yang
dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih di bayar,
yang akan mengakibatkan pajak penghasilan yang terutang di Indonesia menjadi
lebih kecil, sehingga pajak penghasilan menjadi lebih dibayar. Atas kelebihan
bayar pajak tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah
diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.
Contoh Soal
PPh pasal 24
1. PT
ABC pada tahun 2006 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
Penghasilan beruba laba
usaha di dalam negeri Rp300.000.000. Penghasilan berupa laba usaha dari negara
A Rp200.000.000. Penghasilan berupa laba usaha dari negara B Rp400.000.000 dan
rugi usaha dari negara C Rp250.000.000. Jika tarif pajak yang berlaku di negara
A, B dan C masing-masing 20%, 30% dan 40%. Hitung PPh pasal 24 yang dapat
dikreditkan di Indonesia!
menghitung total
penghasilan kena pajak:
penghasian dari
DN Rp300.000.000
penghasilan dari neg
A Rp200.000.000
penghasilan dari negara
B Rp400.000.000
total penghasilan kena
pajak Rp900.000.000
menghitung total pajak
terutang
10% x
Rp50.000.000 Rp
5.000.000
15% x
Rp50.000.000 Rp
7.500.000
30% x
Rp800.000.000 Rp240.000.000
Total pajak
terutang Rp252.500.000
menhitung maksimal kredit
pajak yang diperbolehkan:
di neg A = (200.000.000 :
900.000.000) x Rp252.500.000 = Rp 56.111.106
di neg B = (400.000.000 :
900.000.000) x Rp252.500.000 = Rp112.222.212
pajak yang dibayarkan
atau terutang di LN:
di Negara A
20% x Rp200.000.000 = Rp 40.000.000
di Negara
B 30% x Rp400.000.000 =
Rp120.000.000
dari perhitungan di atas
maka kredit pajak (PPh pasal 24) adalah:
dari Neg
A Rp
40.000.000
dari Neg
B Rp112.222.212
total Rp
152.222.212
BAB
IV
PENUTUP
- SIMPULAN
1.
Pajak Penghasilan (PPh) adalah Pajak yang
dikenakan terhadap Subjek Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak.
2.
Dasar Hukum pengaturan Pajak Penghasilan
di Indonesia adalah sebagai berikut
-
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
-
Mulai Juli 2003 sampai Desember 2004,
pemerintah menerapkan sistem pajak yang ditanggung pemerintah yang
diatur dalam :Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2003 danKeputusan
Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003.
-
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun pajak 2005 (sekaligus meniadakan
pajak yang ditanggung pemerintah).
-
Peraturan Menteri Keuangan Nomor
137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun pajak 2006
3.
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008,
subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
-
Orang Pribadi
-
Harta Warisan yang belum Terbagi
-
Bentuk Usaha Tetap
-
Badan
4.
Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan
yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang
bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun .
5.
PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak )
adalah penghasilan yang menjadi batasan tidak kena pajak bagi wajib pajak orang
pribadi, dengan kata lain apabila penghasilan netto wajib pajak orang pribadi
jumlahnya di bawah PTKP tidak akan terkena pajak penghasilan (PPh) pasal 25 /29
dan apabila berstatus sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai objek
PPh pasa 21 maka penghasilan tersebut tidak akan dilakukan pemotongan PPh pasal
21 .
6.
Penghasilan Kena Pajak
merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang
terutang. Penghasilan Kena Pajak diperoleh dari pengurangan antara penghasilan
bruto wajib pajak dengan pengurang penghasilan bruto.
- SARAN
Dari
uraian diatas penulis berharap bagi semua pihak yang berwenang dalm pemungutan
pajak agar pajak yang di dapat dari pemungutan wajib pajak tersebut harus bisa
dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya.
Selain
itu untuk wajib pajak juga seharusnya lebih sadar bahwa kewajiban untuk
membayar pajak harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, karena pajak
bermanffat sekali untuk kelancaran hidup benegara.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Suandy, erly. Hukum Pajak. 2005.
Salemba Empat: Jakarta
Diunduh
pada 1 Mei 2014 pukul 19:30
Diunduh pada 1 Mei 2014 pukul 19:55
Diunduh pada 1 Mei 2014 pukul 20:00
Diunduh pada 1 Mei 2014 pukul 19:02
Diunduh pada 1 Mei 2014 pukul 20:15
Mardiasmo. 2002. Perpajakan.
Yogyakarta: Andi Publisher
· Waluyo. 2013. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat
· Sumarsan, Thomas. 2012. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Indeks
· Waluyo & Wirawan
B. Ilyas. 2003. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba
Empat
EmoticonEmoticon