Makalah Pajak Penghasilan

BAB I
                                                                                                                                        PENDAHULUAN                                                                      

  1. LATAR BELAKANG MASALAH
Pajak adalah Kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedang pajak Penghasilan adalah pajak yang dibebankan kepada penghasilan perorangan , perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan secara progresif, proposional, atau regresif.[1]
            Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dipungut kepada objek pajak atas penghasilan yang diperolehnya. PPh akan selalu dikenakan terhadap orang atau badan usaha selaku wajib pajak yang memperoleh penghasilan. Setiap perusahaan jasa maupun non jasa sebagai wajib pajak diwajibkan untuk membayar pajak. Bagi perusahaan , pajak merupakan sumber pengeluaran  tanpa adanya imbalan langsung untuk perusahaan tersebut. Sehingga biasanya banyak perusahaan melakukan upaya untuk membayar pajak terutangnya sekecil mungkin selama hal tersebut memungkinkan.Untuk itu penulis akan membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan pajak penghasilan.
  1. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang di atas, dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :
  1. Apakah pengertian dari Pajak Penghasilan ?
  2. Bagaimana dasar hukum pengaturan dari Pajak Penghasilan ?
  3. Apa sajakah subjek dari Pajak Penghasilan ?
  4. Apa sajakah objek dari Pajak Penghasilan ?
  5. Apakah PTKP dan PKP itu ?

  1. TUJUAN PENULISAN
Dalam makalah ini , memiliki tujuan yang hendak dicapai . Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Pajak Penghasilan.
2.      Untuk mengetahui bagaimana dasar hukum pengaturan dari Pajak Penghasilan.
3.      Untuk mengetahui apa sajakah subjek dari Pajak Penghasilan.
4.      Untuk mengetahui apa sajakah objek dari Pajak Penghasilan.
5.      Untuk mengetahui apakah PTKP dan PKP itu.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN PAJAK PENGHASILAN
Pajak Penghasilan (PPh) adalah Pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh karena itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.[2]
B.     DASAR HUKUM PENGATURAN PAJAK PENGHASILAN
Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia diatur pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan penjelasan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya berturut-turut peraturan ini diamandemen oleh :
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991
  • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994
  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
  • Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
Mulai Juli 2003 sampai Desember 2004, pemerintah menerapkan sistem pajak yang ditanggung pemerintah yang diatur dalam :Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2003 danKeputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003.
Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah disesuaikan juga beberapa kali dalam:
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun pajak 2005 (sekaligus meniadakan pajak yang ditanggung pemerintah).
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun pajak 2006

  1. SUBJEK PAJAK PENGHASILAN
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
  1. Orang Pribadi
yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
  1. Harta Warisan Belum Dibagi 
yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
  1. Badan
badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
  • pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
  • penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
  • pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
  1. Bentuk usaha tetap 
yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.

Dan yang tidak termasuk Subjek Pajak adalah sebagai berikut :
  1. Badan perwakilan negara asing;
  2. Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:
• bukan warga Negara Indonesia; dan
• di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut;
• negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
  1. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
• Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
• tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
  1. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
• bukan warga negara Indonesia; dan
• tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.[3]
  1. OBJEK PAJAK PENGHASILAN
Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun .
Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak darimanapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangu
Objek Pajak Penghasilan yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk :
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Pajak Penghasilan;
b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
c. laba usaha;
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
- keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
- keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota;
- keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,pemecahan atau pengambilalihan usaha;
- keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak pihak yang bersangkutan;
e.penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f. bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g.dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. royalti;
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k.keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m.selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n.premi asuransi;
o.iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p.tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak

Objek Pajak yang dikenakan PPh final Atas penghasilan berupa:
• bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya;
• penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek;
• penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan, serta
• penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dan yang tidak Termasuk Objek Pajak adalah sebagai berikut :
  1. - Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
- Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, epanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak ybs;
2. Warisan;
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa;
6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP Dalam Negeri, koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
- dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
- bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan , baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi;
10. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha;
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura.
  1. PTKP DAN PKP
  1. PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak )
adalah penghasilan yang menjadi batasan tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi, dengan kata lain apabila penghasilan netto wajib pajak orang pribadi jumlahnya di bawah PTKP tidak akan terkena pajak penghasilan (PPh) pasal 25 /29 dan apabila berstatus sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai objek PPh pasa 21 maka penghasilan tersebut tidak akan dilakukan pemotongan PPh pasal 21 .
PTKP berbeda untuk status pekerja yang berbeda. Sesuai dengan Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang No. 36 tahun 2008, yang besarnya kemudian dirubah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, bagi pekerja yang belum kawin, PTKP adalah Rp24.300.000.
Catatan: Lihat juga Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.  [4]
·         Bila pekerja kawin, ada penambahan Rp2.025.000 untuk PTKP.
·         Bila pekerja mempunyai anak, ada penambahan PTKP sebesar Rp2.025.000 untuk setiap anak dan hanya berlaku sampai anak yang ketiga.
·         Tidak ada penambahan PTKP untuk anak ke-empat dan seterusnya. 
·         Bila istri bekerja, PTKP pekerja tetap sama, yaitu Rp24.300.000 dan tarif pajak penghasilan tetap sama.[5]
PERHITUNGAN
STATUS PEKERJA
PTKP (Rp)
Belum Kawin
24.300.000
Kawin, anak 0
26.325.000
Kawin, anak 1
28.350.000
Kawin, anak 2
30.375.000
Kawin, anak 3
32.400.000

  1. PKP (Penghasilan Kena Pajak)
Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Penghasilan Kena Pajak diperoleh dari pengurangan antara penghasilan bruto wajib pajak dengan pengurang penghasilan bruto.[6]
Perhitungan
Lapisan Penghasilan Kena Pajak (Rp)
Tarif Pajak
Sampai dengan 50 juta
5%
Di atas 50 juta sd 250 juta
15%
Di atas 250 juta sd 500 juta
25%
Di atas 500 juta
30%

  1. Jenis Pajak
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat dibagi menjadi :
1.      Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut atas penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia .
Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang  dipungut pada seseorang atas pengahsilan dari semua orang yang berda di wilayah Indonesia. Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dipungut setiap akhir tahun atau setelah tahun pajak berakhir. Pajak penghasilan diatur dalam undang-undang diantaranya adalah:
·         Undang-undang nomor: 7 tahun 1991 tentangperubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan
·         Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak keluar negri
·         UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang
·         UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994
·         UU No. 7 Tahun 1983 ttg PPh jo. UU No. 10/1994
·         UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994
·         UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994
·         UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai
·         UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007

Dalam Undang-Unadang Pajak Penghasilan sendiri tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan subjek PPh, namun secara umum pengertian Subjek Pajak adalah siapa yang dikenakan pajak. UU PPh menegaskan ada tiga kelompok yang menjadi Subjek PPh yaitu:
a.       Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
b.      Badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainya, BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi Yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, dan Bentuk Badan Usaha lainnya.
c.       Bentuk Usaha Tetap (BUT).
BUT adalah bentuk usaha yang dikenakan orang pribadi yang tidak beretempat tinggal di Indonesia atau bertempat tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
2.      Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
3.      PajakPenjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
a.       barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
b.      Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
c.       Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status
d.      Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
4.      Bea Meterai Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, dengan menggunakan benda materai atau benda lainya contohnya dengan menggunakan mesin teraan, pemeteraian, kemudian dan surat setoran pajak bentuk KPU 35 Kode 006.
5.      Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah atas harta tak bergerak yang terdiri atas tanah dan bangunan (property tax).
6.      Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.
Selain pajak-pajak yang dikelola pemerintah daerah diatas juga terdapat pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain:
1.      Pajak Propinsi
a.       Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
b.      Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air
c.       Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d.      Pajak Pengambilan dan pemanafaatan Air bawah tanah dan air permukaan,
2.      Pajak Kabupaten Kota
a.       Pajak Hotel,
b.      Pajak Restoran,
c.       Pajak Hiburan,
d.      Pajak Reklame,
e.       Pajak Penerangan Jalan,
f.        Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
g.      Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
Selain yang dibahas diatas, dalam parktek sering dikenakan pungutan yang disebut sumbangan wajib. Sumbangan wajib biasanya tidak memiliki kejelasan balas jasa maupun imabalanya. Sumbangan atau sumangan wajib yang didasarkan atas ketentuan yang sah dan hasilnya masuk ke kas negara maka pungutan tersebut merupakan pungutan yang legal.
  1. Dasar Hukum
·         Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
·         Undang-undang No. 10/1994 Undang-Undang Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Pasal 4 ayat (2). “ Atas Pengasilan berupa bungan deposito dan tabungan dan tabungan-tabungan lainya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harat berupa  tanah dan atau tabungan serta pengasilan tertentu lainya, pengenaan pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah.
·         Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
·         Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan
·         Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak keluar negri
·         UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang
·         UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994
·         UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994
·         UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994
·         UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994
·         UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai
·          UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007

  1.  Manfaat Pajak
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.
Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.
BAB III
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22

A.        PENGERTIAN PPH PASAL 22
Pph Pasal 22 Adalah Pemungutan  Pajak Yang Di Lakukan Atas Pembelian Barang, Impor Barang Dan Pembelian / Penjualan Barang Di Bidang Usaha Tertenu. Oleh Karna Itu  Yang Dilakukan Pemungukan Pph Pasal 22 Adalah Pemasuk Barang Kepada Pemerintah , Impor Dan Pemasok/Beli Barang Dari Badan-Badan Tertentu. Pajak Penghasilan (PPH) Pasal 22 Adalah Pph Yang Di Pungut Oleh :

1.       Bendahara Pemerintah Pusat / Daerah, Instansi Atau Lebaga Pemerintah Dan Lembaga-Lembaga Negara Lain, Berkenan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang .
2.       Badan Badan Tertentu , Baik Badan Pemerintah Maupun Swasta Berkenan Dengan Kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain.
3.       Wajib Pajang Badan Yang Melakukan Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah.

B.        OBJEK DAN PEMUNGUT  PPH PASAL 22

Berikut Merupakan  objek Dan Pemungut Pph Pasal 22 :

NO.
OBJEK
PEMUNGUT

1
Pembelian Barang Oleh Bendaharawan Pemerintah Dan DJA (Direktorat Jendral Anggaran)                                                                                           
Pihak Yang Membayar Atau Membeli :
             §  Bendaharawan Pemerintah
§  DJA

2
Pembelian Barang Oleh BUMN/BUMD Yang Bersumber Dari Dana APBN Dan Atau APBD

BUMN/BUMD

3
Pembelian Barang Oleh Badan Tertentu Yang Bersumber Dari Dana APBN Maupun Non APBN

Badan Tertentu



4
Impor Barang :
-        Dilakukan Oleh Impoter Yang Memiliki API
-        Dilakukan Oleh  Impoter Yang Tidak Memiliki API
-        Yang Tidak Dikuasai (Lelang)
-        Direktorat Jenderal Bead An Cukai (DJBC)
-        BANK Devis
5
Pembelian Bahan Untuk Indutri Tertentu Atau Eksportior Dari Pedagang Pengumpul
Industri Tertentu Yang Bergerakdi Bidang Pertanian.Perkebunan Dan Perikanan.
6
Penjualan Bahan Bakar, Minyak, Gas Dan Pelumas
Produsen Atau Impoter Bahan Bakar Minyak, Gas, Dan Pelumas
7
Penjualan Barang Yang Terglong Mewah
Wajib Pajak  Badan Yang Melakukan Penjualan Tersebut.



8
Penjualan Hasil Industry Tertentu :
-        Kertas
-        Baja
-        Otomotif
-        Semen
-        Roko
Industry Tertentu Yang Menjual
C.        TARIFF PPH PASAL 22
Berikut Merupkan Tarif  Pph Pasal 22, Antara Lain :

NO.
OBJEK
TARIF
1
Pembelian Barang Di Lakukan Oleh DPBJ, Bendahara Pemerintah, BUMN/D Dan Badan Tertentu
1,5%


2
Impor Barang :
-        Yang Menggunaka API
-        Yang Tidak Menggunakan API
-        Yang Tidak Dikuasai (Lelang)

2,5%
7,5%
7,5%
3
Pembelian Bahan Bahan Untuk Industry / Ekspor Dari Pedagang Penjual
2,5%

4.
Penjualan Oleh Pertamina :
-        Premium, Solar, Premix, Super TT
-        Minyak Tanah , LPG, Pelumas

0,25%
0,3%

5
Penjualan Oleh Selain Pertamina :
-        Premium, Solar, Premix, Super TT
-        Minyak Tanah , LPG, Pelumas

0,3%
0,3%



6
Penjualan Hasil Industry Tertentu :
-        Kertas
-        Baja
-        Otomotif
-        Semen
-        Roko

0,1%
0,3%
0,45%
0,25%
0,15%

Selain Tarifdi Atas,Peraturan Mentri Keuangan nomor 253/PMK.03/2008 Tanggal 1 Desember 2008 Juga Mengatur Tentang Wajib Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pph Pasal 22 Atas Penjualan Barang Yang Tergolong Sangat Mewah Yaitu Wajib Pajak Badan Yang Melakukan Penjualan Barang Yang  Tergolong Sangat Mewah, Diantaranya :
a)        Pesawat Udara Pribadi  Dengan Harga Jual Lebih Dari  Rp.20.000.000.000,00 ( Dua Puluh Meliar Rupiah)
b)        Kabel Pesiar Dan Sejenisnya Dengan Harga Jual Leih Dari Rp.10.000.000.000,00 ( Sepuluh Meliar Ruiah)
c)        Rumah Berserta Tanahnya Dengan Harga Jual Atau Harga Penggalihannya Lenih Dari 10.000.000.000,00 ( Sepuluh Meliar Rupiah) Dan Luas Bangunan Lebih Dari 500 M2
d)        Apartemen, kondominium,dan sejenisnya dengan harga jauh atau pengalihannya lebih dari Rp. 10.000.000.000,00 ( sepuluh meliar rupiah)dan/bangunan lebih  dari 400 m2.
e)        Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang  dari 10 orang berupa sedan, jeep,sport utilty vehicle (SUV), Multi  purpose vehicle(MPV), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp. 5.000.000.000,00 (lima meliar rupiah) dan dengan kapasitas silinder  5%  dari  harga  jual  tidak termasuk PPN  dan PPNBM,

Selain tarif  pajak yang tercantumdi atas,terdapat tariff sebagai berikut :

-        Impor kedelai, gandum dan tepung terigu dan importer yang menggunakan API sebesar 0,5%.
-        Untuk wajib pajak yang tidak dimiliki NPWP maka pajak dipungut 100% lebih tinggi dari tariff pph pasal 22. 
D.        PENGECUALIAN PENGGUNAAN PPH PASAL 22

Berikut merupakan bukan objek pph pasal 22, sebagai berikut :

1.       Impor barang atau penyerahan barang yang berdasaran ke tentuan peraturan perundang undangan tidak terutang pph. Dinyatakan dengan surat keterangan bebas (SKB)
2.       Impor barang yang di bebaskan dari bea masuk dan atau pajak pertambahan niali; dilaksanakan oleh DJBC.
3.       Impor sementara  jika waktu impornya nyata-nyata dimaksutkan untuk di sepor kembali dan dilakukan oleh dirijen BC.
4.       Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainya yang jumlahya paling banyak Rp. 2.000.000 ( dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
5.       Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak , listrik, gas, air minum/PDAM, berbeda-beda pos.
6.       Emas batangnya yang akan di prosesuntuk megenghasilkan barang prhiasan dari emas  untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
7.       Pembayaran/pencarian dana jaring pengaman social kantor pembendaharaan dank as Negara.
8.       Impor kembali dalam kualitas yang sama  atau barang barang yang telah di ekspor untuk keperluan perbaikan pengerjaan dan pengujian yang memenuhi syarat yang di tentukan oleh direktorat jendral bae dan cukai.
9.       Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh bulog.

E.        SAAT TERUTANG DAN PELUNASAN/PEMUNGUTAN PPH PASAL 22

1.       atas impor barang terutang dan di lunasi bersamaan dengan saat pembayaran bea masuk.dalam hal pembayaran bea masuk di tunda atau dibebaskan maka pph pasal 22terutang dan dilunasi pada saat penyelesayan dokumen pemberitahuan impor barang (PIB)
2.       Atas pembelan barang (lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 3,2 dan 4) terutang dan dipungut pada saat pembayaran .
3.       Atas penjuaan hasil  produksi  ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 5)terutang dan di pungutpada saat  penjualan.
4.       Atas penjuaan hasil produksi ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 6) di pungut pada saat pemberitahuan surat perintah pengeluaranbarang ( delvery order).
5.       Atas pembelian bahan-bahan  ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 7) terutang dan dipungut pada saat pembelian.

F.        TATACARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PPH PASAL 22

  PPH PASAL 22 ATAS impor barang (ihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 1) di setor oleh importer dengan menggunakan formulir surat setoran pajak, cukai dan pabean . pph pasal 22 atas Impor barang yang di pungut oleh DJBC hars di setor ke BANK Devisa. Atau bendahara direktoratjendral bead an cukai, dalam jangka waktu 1hari setelah pemungutan pajak di laporkan ke  :

1)      KPP secara mingguan paling lambat 7 hari setelah batas waktu penyetoran pajak ter ahkir
2)      Pph pasal 22 atas  impor harus di lunasi  bersamaan dengan saat pembayaran bea masuk dan dalam hal bea ditunda atau dibebaskan, pph pasal 22 atas impor harus di lunasi saat penyelesayan dokumen pemberitahuan pabean impor . dilaporkan ke KPPpaling lambat tanggal 20 setelah masa pajak terahkir.
3)      Pph pasal 22 atas pembelian barang ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 2) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP wajip pajak rekanan  ke bank persepasi  atau kantor pos pada hari yang sama dengan pelaksanaan  pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut penerbitkan bukti pungutan rangkap 3 yaitu :

a)        Lembar pertama untuk pembeli
b)        Lembar ke dua untuk lampiran laporan bulanan ke kantor pelayanan pajak
c)        Lembar ke tiga untuk arsip  pemungut pajak yang bersangkutan dan dilaporkan ke KPP paling lamat 14 hari setelah masa pajak berahkir.

4)      Pajak pph 22 atas pembelian barang ( lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 3) di setor oleh pemungut atas nama dan NPWP ke bank persepsi atau kantor pos paling lama tanggal 10  bulan berikutnya setelah masa pajak berahkir.  Di laporkan ke KPP paling lambat tanggal  20 setelah masa pajak berahkir.
5)      Pph pasal 22 pembelian barang ( lihat pemungut pajak dan objek pph pasal 22 butir 4)  di setor oleh pemungut atas nama dan  NPWP wjib pajak penjual kebank persepasi atauu kantor pos paling lambat tanggal 10 bulan takwin berikutnya dengan menggunakan formulir ssp dan menyampaikan spt masa ke saling lambat 20 hari setelah masa pajak berahkir.
6)      Pph pasal 22 atas penjualan hasil produksi (lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 5 dan 7) dan hasil penjualan barang  sangat mewah (lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 8) di setor ooleh pemungut atas nama wajib pajak ke bank perserpsi  atau kantor pos paling lambat tanggal 10 bulan takwin berikutnya dengan menggunakan formulir ssp. Pemungut menyampaikan spt masa ke kpp paling lambat 20 hari setelah masa pajak berahkir.
7)      Pph pasal 22 penjualan hasil produksi (lihat pemungut dan objek pph pasal 22 butir 6)di setor oleh pemungut ke bank perserpsi atau kantor pos paling lama tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berahkir. Pemungut wajib memberikan bukti pemungutan pph pasal 22 rangkap 3 yaitu :

a)        Lembar pertama untuk membeli;
b)        Lembar kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada kantor pelayanan pajak ;
c)        Lembar ketiga untuk arsip pemungut pajak yang bersangkutan ;
  Pelaporan di gunakan dengan cara menyampaikan spt  masa ke kpp setempat paling lambat 20 hari setelah masa pajak berahkir. Dalam hal jatuh tempo penyetoran atau batas ahkir pelaporan pph pasal 22 bertepatan dengan hari libur termasuk hari sabtu dan hari libur nasional penyetoran atau laporan dapat di lakukan pada hari kerja berikutnya. 

G.    CARA MENGHITUNG PPH PASAL 22

1.       Cara menghitung pph pasal 22 atas kegiatan impor barang
Besarnya pph atas impor:

*     Yang menggunakan angka pengenal importer (AIP) tarif pemungutan sebesar 2,5%  dari nilai impor.Pph pasal 22 =  2,5% x nilai importer
*     yang tidak menggunakan angka pengenal importer (AIP) tariff pemungutannya sebesar 7,5%  dari  nilai  impor  Pph pasal 22 = 7,5%x nilai importer.
*     Yang tidak di kuasai tarif  pemungutannya sebesar 7,5% dari harga jual lelang pph pasal 22 = 7,5%x harga jual lelang.

  Catatan
Yang di maksut dengan niali impor adalah nilai berupa uang yang di gunakan sebagai dasar perhitungan bea masuk . niali impor di hitung sebesar cost insurance freight ( CIF ) + bea masuk +pemungutan pabean lainnya.

Ø  CONTOH SOAL 1
PT  11 AKUNTANSI  memiliki nomor API, malakukan impor komputer dari  amerika serikat  dengan perincian sebagai berikut :
1)      Harga komputer (cost)………………………………………. US $20.000,-
2)      Asuransi ( insurance) …………………………………………...US $1.000,-
3)      Biaya angkut (freight)…………………………………………. US $4.000,-
4)      Harga pabean …………………………………………………US $25.000,-
                           Pungutan  :
-        Bea masuk 20% ……………………………………………………….. US $5.000,-
-        Bea masuk tambahan 10% …………………………………………….US $2.500,-
NIALI IMPOR……………………………………………………………… US $32.500,-
Apabila pada tanggal impor ( sesuai dokumen impor : pemberitahuan impor barang ) nilai kurs US $1.00,-  =  10.000,-  maka :
-        Dasar pengenaan pph pasal 22 : US$ 32.500 X 10.000 = 325.000.000,-
-        Pph pasal 22 yang harus di pungut 325.000.000 x 7,5%  = 24,375,000,-

2.      Cara menghitung pph pasal 22 atas pembelian barang yang di biayai dengan APBN/APBD

Pph pasal 22 = 1,5% x harga perolehan
Atas pembelian barang yang dananya dari belanja Negara atau belanja dari daerah di kenalkan pemungutan pph pasal 22 sebesar 1,5% dari harga pembelian. Pembayaran barang yang dikecualikan dari pemungutan pph pasal 22 adalah  :
                    Pembayaran atsa penyerahan barang ( bukan merupakan jumlah yang di pecah-pecah) yang meliputi jumlah barang dari 1.000.000,-
Pembayaran untuk pembelian bahan bakar, mnyak listrik, gas, air minum, dan benda-benda pos.
                    Pembayaran / pencairan dana jaring pengaman social (JPS) oleh kantor pembendaharaan dank kas Negara.

Ø  CONTOH SOlAL 2.
PT. MAJU  MUNDUR  Melakukan penjualan lemari arsip ke pada departemen dalam negri senlai 220 juta. Pembayaran di lakukan oleh bendaharawan depdagri. Dalam kontak penjualan dengan pemerintah yang di danai dari  APBN/APBD  biasanya harga jual sudah termasuk  pajak prtambahan nilai sebesar 10%

Diminta  : hitunglah pph pasal 22  PT MAJU  MUNDUR
*     jAWABAN
-        dasar pengenaan pph pasal 22 :  (100 x 220 juta) = 200.000.000,-
-        pph pasal 22 yang di pungut oleh bendaharawan pemerintah dari transaksi pembayaran 200.000.000,-  x 1,5% = 3.000.000,

1.              CARA MENGHITUNG PPH PASAL 22 ATAS PENJUALAN HASIL PRODUKSI INDUSTRI OTOMOTIF DI DALAM NEGERI.

Besarnya pph pasal 22 atas penjualan semua jens kendaraan bermotor beroda 2 atau lebih di dalam negri  adalah 0,45% dari dasar pengenaan pajak pertambahaan niali
Pph pasal 22 = 0,45% x DPP PPN
Penjualan kendaraan berotor yan di kecualikan dari pemungutan pph passal 22 atas industry otomotif  ini adalah penjualan kendaraan bermotor kepada :
-        Instansi  pemerintah
-        Korps diplomatic
-        Bukan sumber pajak

2.              CARA MENGHITUNG PPH PASAL 22 ATAS PENJUALAN PRODUKSI INDUSTRI ROKOK DI DALAM NEGERI

Besarnya pph pasal 22 yang wajib di pungut oleh industry rokok  pada saat penjualan rokok di dalam negri adalah 0,15% dari harga bandrol  ( pita cukai) dan bersifat final .
Pph pasal 22 (final) = 0,15%  x harga bandrol
3.       CARA MENGHITUNG PPH PASAL 22 ATAS PENJUALAN HASIL PRODUKSI INDUSTI  KERTAS DI DALAM NEGRI
Besar pph pasal 22 yang wajib di pungut oleh industry kertas pada saat penjualan kertas di dalam negri  adalah 0,1%  dari dasar pengenaan pajak (DPP) pajak pertambahan nilai.
Pph pasal 22 = 0,1% x DPP PPN
4.       CARA MENGHITUNG PPH PASAL 22 ATAS PENJUALAN HASIL PRODUKSI INDUSTRI SEMEN DI DALAM NEGRI
Besarnya pph pasal 22 yang wajib di pungut oleh industri semen pada saat penjualan semen di dalam negri adalah 0,25% dari dasar pengenaan pajak ( DPP) pajak pertambahan nilai.
Pph pasal 22 = 0,25%  x DPP PPN 
Yang di kecualikan dari pemungutan pph pasal 22 adalah penjualan semen dalam negri  oleh PT INDOCEMEN , PT SEMEN CIBINONG dan  PT SEMEN NUSANTARA  kepada distributor utama/tuggalnya.

1.              CARA MENGHITUNG PPH PASAL 22 ATAS PENJUALAN HASIL PRODUKSI INDUSTRI BAJA  DI DALAM NEGERI

Besarnya pph pasal 22 yang wajib di pungut  oleh industry baja pada sat penjualan hasil produksinya di dalam negri adalah 0,3% dari dasar pengenaan pajak (DPP) pajak pertambahan nilai
Pph pasal 22 = 0,3% x DPP PPN

2.              CARA MENGHTUNG PPH PASAL 22 YANG DI PUNGUT OLEH PERTAMINA DAN BADAN USAHA SELAIN PERTAMINA

Besarnya pph pasal 22 yang wajib di pungut oleh pertamina dan badan  usaha lainnya yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT  dan gas atas penjualan hasil produksinya adalah sebagai berikut :
1)      Atas penebusan premium , solar, premix/super TT oleh SPBU swastanisasi adalah 0,3% dari penjualan .
                                        Pph pasal 22 = 0,3% x penjualan
2)      Atas penebusan premium, solar, premix, oleh SPBU pertamina adalah 0,25% dari penjualan.
                                        Pph pasal 22 = 0,25% x penjualan.
3)      Atas penjualan minyak tanah , gas, LPG, dan pelumas adalah 0,3% dari penjualan
                                        Pph pasal 22 = 0,3% x penjualan
2.2 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23
A. Pengertian

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Pemotong dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23

1.      Pemotong PPh Pasal 23:

a. badan pemerintah;
b. Wajib Pajak badan dalam negeri;
c. penyelenggaraan kegiatan;
d. bentuk usaha tetap (BUT);
e. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
f. Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.

2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
a. WP dalam negeri;
b. BUT
Tarif dan Objek PPh Pasal 23 dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto dan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
Saat Terutang, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 23.

a. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.

b. PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.

c. SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
Bukti Pemotong PPh Pasal 23

Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.

B. Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 23

Perubahan pada penghasilan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah dihapuskannya Pasal 23 ayat (1) huruf b yaitu pengenaan PPh Pasal 23 yang bersifat final sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto  atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi. Jenis penghasilan lainnya tetap yaitu, dividen, bunga royalti, hadiah dan penghargaan selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21, sewa, imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi dan jasa konsultan dan “jasa lain” selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Penentuan “jasa lain” dalam UU PPh yang baru diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan, sementara dalam ketentuan lama, penentuannya dilakukan oleh Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Jenis-jenis penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pemotongan PPh Pasal 23, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (4) adalah sebagai berikut :

1.   penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank (tidak berubah)
2.   sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi (tidak berubah)
3.  dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c) (ketentuan baru dalam frasa berwarna biru)
4.  bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf j (ketentuan ini dihapus sesuai dengan perubahan di Pasal 4 ayat (3) Undang-undang PPh)
5.  bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i (tidak berubah
6.  sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya (tidak berubah)
7.  bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya (ketentuan ini dihapus sehingga pengenaan PPh nya kembali pada ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf a, atau akan dikenakan PPh Final tersendiri berdasar Pasal 4 ayat(2)?)
8.  penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yangberfungsi  sebagai  penyalur  pinjaman  dan/atau  pembiayaan  yang  diatur  denganPeraturan Menteri Keuangan (ketentuan ini sama sekali baru, nampaknya untuk memberikan keadilan antara bank dan lembaga keuangan yang kegiatan usahanya mirip dengan bank).

C. Tarif PPh Pasal 23

Dalam ketentuan lama, struktur tarif PPh Pasal 23 adalah sebagai berikut :
1.  Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah dan penghargaan selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21.
2.  Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat final dikenakan kepada bunga simpanan yang dibayarkan koperasi yang jumlahnya melebihi Rp240.000,- sebulan.
3.  15% (lima belas persen) dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; dan imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Ketentuan mengenai jenis penghasilan dan besarnya perkiraan penghasilan neto diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-70/PJ/2007. Silahkan klik Daftar Tarif PPh Pasal 23 untuk mengetahuinya.

Dalam ketentuan baru Undang-undang Pajak Penghasilan, struktur tarifnya adalah sebagai berikut :
1.   Tarif 15% x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah, penghargaan dan bonus selain yang sudah dipotong PPh Pasal 21.
2.   Dihapus
3.   sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
·  sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai  Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
·  imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa  konsultan,  dan jasa  lain  selain  jasa  yang  telah  dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Dari paragraf di atas bisa kita simpulkan bahwa pada point 1 tidak mengalami perubahan berarti. Pada point 2, PPh Pasal 23 Final atas bunga simpanan koperasi dihapuskan. Ketentuan mengenai bunga koperasi nampaknya akan masuk pada point 1 di mana dikenakan PPh Pasal 23 tidak final sebesar 15% dari penghasilan bruto tanpa ada pembatasan jumlah bunga yang selama ini kita kenal.

Kalau kita cermati pada point 3, sebenarnya tak ada perubahan dari jenis penghasilannya. Yang berubah adalah tarifnya!. Selama ini PPh Pasal 23 ini dikenakan tarif 15% ini dari Perkiraan Penghasilan Neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto ini ditetapkan oleh Keputusan/Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Tahun 2009 nanti kita nampaknya harus mengucapkan selamat tinggal pada kata “perkiraan penghasilan neto” ini. Ya, mulai tahun 2009 nanti tarif PPh Pasal 23 hanya satu saja yaitu 2% dari penghasilan bruto. Lumayan kan, kita tak perlu lagi pusing dengan jenis-jenis jasa dan tarifnya yang banyak itu :). Kita tinggal menunggu jenis “jasa lain” yang akan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan yang selama ini penentuan jenis “jasa lain” ini menjadi hak Direktur Jenderal Pajak.
Tarif Lebih Tinggi Bagi Wajib Pajak Tak Ber-NPWP

Berdasarkan Pasal 23 ayat (1a) Undang-undang Pajak Penghasilan yang baru, Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka besarnya tarif pemotongan PPh Pasal 23 adalah lebih tinggi  100%  (seratus  persen) daripada tarif PPh Pasal 23 umumnya. Saya menafsirkan ketentuan ini sebagai berikut. Jika bagi Wajib Pajak yang berNPWP dikenakan tarif 15%, maka bagi yang tidak berNWP akan dikenakan tarif 30%. Begitu juga jika Wajib Pajak berNPWP dikenakan tarif 2% maka bagi yang tidak berNPWP menjadi 4%.

2.3 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 24
A. Pengertian PPh Pasal 24

Pada dasarnya PPh Pasal 24 mengatur tentang besarnya kredit pajak yang dapat diperhitungkan atas pemotongan pajak/ pajak yang dibayar/ pajak yang terutang di luar negeri.  Hal ini sesuai dengan ayat 1 dan 2 Pasal 24 UU PPh  :

1.   Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
2.   Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dengan perubahan terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 24 ayat (1), PPh pasal 24 adalah pajak yang dibayarkan atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang ini dalam tahun pajak yang sama.
Pajak penghasilan pasal 24 atau kredit pajak luar negeri, merupakan perhitungan berapa besar jumlah pajak yang sudah dibayar atas penghasilan  diluar negeri dan pajak tersebut dapat dikreditkan atau dikurangkan dari  penghasilan yang ada didalam negeri sehingga menghindari pengenaan pajak berganda.

B.     Subjek dan Objek PPh Pasal 24

Yang menjadi Subjek PPh Pasal 24 adalah: Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. 
Objek PPh pasal 24 adalah penghasilan yang berasal dari luar negeri

C.       Penentuan Sumber Penghasilan PPh Pasal 24

Dalam menghitung batas jumlah pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan, perlu diperhatikan penentuan sumber penghasilan sebagai berikut:
1.      Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.
2.      Penghasilan berupa bunga, royalti dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta bergerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada.
3.      Penghasilan berupa sewa sehubungan  dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara  tempat harta tersebut terletak.
4.      Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada.
5.      Penghasilan bentuk usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
6.      Penghasilan dan pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah Negara tempat lokasi penambangan berada.
7.      Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah Negara tempat harta tetap itu berada.
8.      Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah Negara tempat bentuk usaha tetap itu berada.

D.    Penggabungan Penghasilan yang berasal dari luar negeri

Penggabungan penghasilan dari luar negri dilakukan sebagai berikut:
1.      Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut;
2.      Untuk penghasilan lainnya, seperti penghasilan bunga, sewa, dan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut;
3.      Untuk penghasilan berupa deviden untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, maka terhadap penanaman modal diluar negri selain pada badan usaha yang menjual sahamnya dibursa efek, Menteri Keuangan berhak untuk menentukan saat diperolehnya deviden.
Jadi, Pajak Penghasilan dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak yang dihitung berdasarkan seluruh penghasilan yang diterima dan diperoleh oleh Wajib Pajak, baik penghasilan tersebut berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dalam menghitung Pajak Penghasilan, maka seluruh penghasilan tersebut digabungkan dalam tahun pajak di peroleh atau diterimanya penghasilan, atau dalam tahun pajak.

Contoh Soal ...
a.       Hasil usaha di Filipina dalam Tahun Pajak 2005 sebesar Rp. 600.000.000,-
b.      Dividen atas pemilikan saham di Cicago Ltd di USA sebesar Rp. 400.000.000,- yaitu berasal dari keuntungan tahun 2004 yang ditetapkan dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) dan dibayar tahun 2005
c.       Dividen atas penyertaan saham sebanyak 75% pada Smith Corporation di Australia yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp. 80.000.000,- yaitu berasal dari keuntungan saham 2004 yang berdasarkan Kepmenkeu ditetapkan diperoleh tahun 2005.
d.      Bunga kwartal IV tahun 2004 sebesar Rp. 200.000.000,- dari Malaysia yang baru akan diterima  bulan Mei Tahun 2005.

Jawaban ....
Dari penghasilan yang bersumber dari luar negeri di atas, maka penghasilan yang digabungkan dengan penghasilan dalam negeri untuk tahun 2004 adalah butir a s/d c, sedangkan butir d digabungkan dengan penghasilan dalam negeri tahun 2005.

D.    Besarnya Kredit Pajak Luar Negeri yang boleh dikreditkan

Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan hanya atas pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari luar negeri, dan setinggi tingginya sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan pajak yang terutang  atas penghasilan kena pajak, atau setinggi-tingginya sama dengan pajak yang terutang atas penghasilan Kena Pajak dalam hal penghasilan Kena Pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.

Maksimum Kredit Pajak  =  Penghasilan LN     x   Pajak terhutang tahun berjalan
                                                          PKP

*Bandingkan antara “Maksimum Kredit Pajak dan  Pajak Yang Terutang/Dibayar di luar negeri” (pilih yang  terkecil).
Contoh :
PT Lestari berkedukan di Semarang, mempunyai penghasilan kena paja dari Indonesia sebesar Rp. 130.000.000,- dan penghasilan kena pajak dari Jepang sebesar Rp. 70.000.000,-. Hitunglah kredit pajak jika tarif yang berlaku di Jepang 10%.
PPh berdasarkan tarif Pasal 17 :
10%     x Rp.   50.000.000,-    =     5.000.000,-
15%     x Rp.   50.000.000,-    =     7.500.000,-
30%     x Rp. 100.000.000,-    =   30.000.000,-
PPh                                               42.000.000,-
PPh yang dibayar di Jepang  10% x 70.000.000,-  = Rp. 7.000.000,-
Bagian penghasilan di Korea :
( Rp. 70.000.000,-/Rp. 200.000.000,- ) x Rp. 42.500.000,-   = Rp. 14.875.000,-
Kredit pajaknya adalah mana yang lebih kecil antara PPh dibayar di luar negeri dengan bagian penghasilan di negara tersebut yaitu sebesar Rp. 7.000.000,-

F.    Mekanisme Pengkreditan PPh yang Dibayar di Luar Negeri

Menurut Keputusan Menteri Keuangan (164/KMK.03/2002)
1.      Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.
2.      Pengkreditan PPh yang dibayar di Luar Negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam tahun pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di Indonesia.
3.      Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri dan seluruh Penghasilan Kena Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian (Penghasilan dari LN lebih besar dari jumlah Penghasilan Kena Pajak).
4.      Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan PPh Pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.
5.      Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) dan/atau penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri (Pasal 8 ayat (1 dan 4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ) tidak dapat digabungkan dengan penghasilan lainnya, baik yang diperoleh dari Dalam Negeri maupun dari Luar Negeri.
6.      Dalam hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di tahun berikutnya, tidak boleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi.
7.      Untuk melaksanakan prengkreditan PPh Luar Negeri, wajib pajak wajib menyampaikan permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh, dilampiri dengan ;
                                               i.            Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri
                                              ii.            Foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
                                            iii.            Dokumen pembayaran PPh di luar negeri.
8.      Atas permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian lampiran-lampiran di atas, karena alasan-alasan di luar kekuasaan wajib pajak.
9.      Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT Tahunan yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
10.  Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang dibayar, maka atas kekurangan bayar tersebut tidak dikenakan sanksi bunga.
11.  Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.

G.    Pengurangan/pengembalian pajak penghasilan luar negeri

Dalam hal terjadi pengurangan atau pengembalian pajak atas penghasilan yang dibayar di Luar Negeri, sehingga besarnya pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia menjadi lebih kecil daripada kredit pajak Luar Negeri semula, maka selisihnya ditambahkan pada pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib pajak dalam negeri pada tahun terjadinya pengurangan atau pengembalian tersebut.

H.    Perubahan besarnya penghasilan luar negeri

Apabila terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri, wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan melampirkan dikumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
1.      jika karena perubahan tersebut, menyebabkan adanya tambahan penghasilan yang mengakibatkan pajak yang terutang atas penghasilan luar negeri menjadi lebih besar daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak yang terutang di Luar Negeri menjadi kurang bayar, maka terdapat kemungkinan pajak penghasilan di Indonesia juga kurang bayar. Sesuai dengan UU No. 28 tahun 2007 tentang ketentuan Umum dan tatacara perpajakan, apabila WP membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan pajak yang terutang menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT terakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT tersebut.
2.      Apabila karena pembetulan SPT tersebut, menyebabkan penghasilan dan pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri menjadi lebih kecil daripada yang dilaporkan dalam SPT tahunan, sehingga pajak di luar negeri lebih di bayar, yang akan mengakibatkan pajak penghasilan yang terutang di Indonesia menjadi lebih kecil, sehingga pajak penghasilan menjadi lebih dibayar. Atas kelebihan bayar pajak tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak lainnya.
Contoh Soal PPh pasal 24

1.      PT ABC pada tahun 2006 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
Penghasilan beruba laba usaha di dalam negeri Rp300.000.000. Penghasilan berupa laba usaha dari negara A Rp200.000.000. Penghasilan berupa laba usaha dari negara B Rp400.000.000 dan rugi usaha dari negara C Rp250.000.000. Jika tarif pajak yang berlaku di negara A, B dan C masing-masing 20%, 30% dan 40%. Hitung PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan di Indonesia!
menghitung total penghasilan kena pajak:
penghasian dari DN                     Rp300.000.000
penghasilan dari neg A                Rp200.000.000
penghasilan dari negara B            Rp400.000.000
total penghasilan kena pajak        Rp900.000.000
menghitung total pajak terutang
10% x Rp50.000.000                   Rp    5.000.000
15% x Rp50.000.000                   Rp    7.500.000
30% x Rp800.000.000                 Rp240.000.000
Total pajak terutang                     Rp252.500.000
menhitung maksimal kredit pajak yang diperbolehkan:
di neg A = (200.000.000 : 900.000.000) x Rp252.500.000 = Rp  56.111.106
di neg B = (400.000.000 : 900.000.000) x Rp252.500.000 = Rp112.222.212
pajak yang dibayarkan atau terutang di LN:
di Negara A     20% x Rp200.000.000 =  Rp  40.000.000
di Negara B      30% x Rp400.000.000  =   Rp120.000.000
dari perhitungan di atas maka kredit pajak (PPh pasal 24) adalah:
dari Neg A           Rp  40.000.000
dari Neg B           Rp112.222.212
total                      Rp 152.222.212

BAB IV
PENUTUP
  1. SIMPULAN
1.      Pajak Penghasilan (PPh) adalah Pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
2.      Dasar Hukum pengaturan Pajak Penghasilan di Indonesia adalah sebagai berikut
-          Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
-          Mulai Juli 2003 sampai Desember 2004, pemerintah menerapkan sistem pajak yang ditanggung pemerintah yang diatur dalam :Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2003 danKeputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003.
-          Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun pajak 2005 (sekaligus meniadakan pajak yang ditanggung pemerintah).
-          Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun pajak 2006
3.      Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
-          Orang Pribadi
-          Harta Warisan yang belum Terbagi
-          Bentuk Usaha Tetap
-          Badan

4.      Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun .
5.      PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak ) adalah penghasilan yang menjadi batasan tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi, dengan kata lain apabila penghasilan netto wajib pajak orang pribadi jumlahnya di bawah PTKP tidak akan terkena pajak penghasilan (PPh) pasal 25 /29 dan apabila berstatus sebagai pegawai atau penerima penghasilan sebagai objek PPh pasa 21 maka penghasilan tersebut tidak akan dilakukan pemotongan PPh pasal 21 .
6.      Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Penghasilan Kena Pajak diperoleh dari pengurangan antara penghasilan bruto wajib pajak dengan pengurang penghasilan bruto.

  1. SARAN
Dari uraian diatas penulis berharap bagi semua pihak yang berwenang dalm pemungutan pajak agar pajak yang di dapat dari pemungutan wajib pajak tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya.
Selain itu untuk wajib pajak juga seharusnya lebih sadar bahwa kewajiban untuk membayar pajak harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, karena pajak bermanffat sekali untuk kelancaran hidup benegara.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Suandy, erly. Hukum Pajak. 2005. Salemba Empat: Jakarta
Diunduh pada 1 Mei 2014 pukul 19:30
Diunduh pada 1 Mei 2014 pukul 19:55
Diunduh pada 1 Mei 2014 pukul 20:00
Diunduh pada 1 Mei 2014 pukul 19:02
Diunduh pada 1 Mei 2014 pukul 20:15
Mardiasmo. 2002. Perpajakan.  Yogyakarta: Andi Publisher
·         Waluyo. 2013. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat
·         Sumarsan, Thomas. 2012. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Indeks
·         Waluyo Wirawan B. Ilyas. 2003. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba
Empat







EmoticonEmoticon