Tampilkan postingan dengan label Pajak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pajak. Tampilkan semua postingan

PERPAJAKAN INTERNASIONAL

Masing–masing Negara berhak untuk menentukan pajak dalam batas kenegaraannya yang mengakibatkan perbedaan perpajakan di tiap-tiap Negara,selain juga disebabkan perbedaan budaya dan pemaksaan pajak.perbedaan tersebut meliputi perbedaan dalam penentuan pajak dan penentuan biaya.

a. Keseimbangan dan netralisasi
b. Sumber pendapatan.
c. Penentuan biaya


Tipe-tipe pajak
1. Corporate income tax
2. With holding tax
3. Indirect tax

PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
Permasalahan penenaan pajak terhadap anak perusahaan di luar negri adalah kemungkinan terjadi pengenaan pajak ganda yaitu saat penghasilan diakui dikenai pajak Negara tersebut dan dikenai pajak Negara perusahaan induk saat penghasilan diakui oleh perusahaan induk.penghindaran pajak berganda dapat menggunakan metode kredit pajak.
A. Kredit Pajak
B. Trakat pajak

PERPAJAKAN USA UNTUK SUMBER PENDAPATAN LUAR NEGRI
Pendapatan dibagai dua :
1. Pendapatan dari impor dan ekspor barang jasa perusahaan induk.
2. Pendapatan dari cabang di luarnegri.

Baca Juga

Prinsip terkait adalah prinsip pengagnguhan dan prinsip kredit pajak
a. Konsep tax haven
b. Controlled foreign corporation (cfc)
c. Pendapatan cabang

INSETIF PAJAK
Dua jenis insetif pajak:
1. Insetif untuk menarik eksportir agar ekspor dapat bersaing di LN.
2. Insetif bagi investor asing agar menanamkan modal karena adanya keringanan pajak.
Insetif lain adalah zero rate namun bukan berarti tak dikenai pajak.jika sector itu telah kompetitif maka tariff naik.

Perusahaan penjualan luar negri
a. Beberntuk korporasi dan memiliki kantor pusat di LN.
b. Perusahaan Negara subtantif ekonomis bukan hanya legal
c. Memiliki nilai 25 pemegang saham
d. Ekspor dilakuakn di luar USA. 
Read More

Metode Pajak Tangguhan, Contoh Soal Pajak Tangguhan

Pajak tangguhan adalah pajak yang kewajibannya ditunda sampai waktu yang ditentukan atau diperbolehkan.

Ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tidak sekadar intstrumen pentransfer sumber daya (fungsi budgeter), akan tetapi seringkali pula digunakan untuk tujuan memepengaruhi perilaku wajib pajak untuk investasi, kesejahteraan dll (fungsi mengatur) yang kadang-kadang merupakan alasan untuk membenarkan penyimpangan dari standar akuntansi keuangan.

Pajak penghasilan yang dihitung berbasis pada penghasilan yang sesungguhnya dibayar kepada pemerintah, disebut sebagai “PPh terutang-income tax payable atau income tax liability,”sedangkan pajak penghasilan yang dihitung berbasis penghasilan sebelum pajak, disebut sebagai “beban pajak penghasilan-income tax expense/ profision for income taxes”.

Beban Pajak Tangguhan dan Pendapatan Pajak Tangguhan
Beban PPh terdiri atas beban pajak kini dan beban pajak tangguhan atau pendapatan pajak tangguhan.
Pajak kini ( current tax ) merupakan jumlah PPh terutang atas Penghasilan Kena Pajak pada suatu periode. Pajak Penghasilan diperlakukan sebagai biaya bagi perusahaan.
Beban pajak tangguhan akan menimbulkan kewajiban pajak tangguhan sedangkan pendapatan pajak tangguhan mengakibatkan aset pajak tangguhan.

Aset Pajak Tangguhan
Aset pajak tangguhan timbul apabila beda waktu yang menyebabkan terjadinya koreksi positif sehingga beban pajak menurut akuntansi lebih kecil daripada beban pajak menurut peraturan perpajakan.

Aset pajak tangguhan adalah jumlah PPh terpulihkan pada periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer yang boleh di kurangkan dan sisa kompensasi kerugian.

Kewajiban Pajak Tangguhan
Kewajiban pajak tangguhan timbul karena adanya perbedaan waktu yang menyebabkan terjadinya koreksi negative sehingga beban pajak menurut akuntansi lebih besar daripada beban pajak menurut peraturan perpajakan.

Kewajiban pajak tangguhan adalah jumlah PPh terutang untuk periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak.

Baik Kewajiban Pajak Tangguhan maupun Aset Pajak Tangguhan dapat terjadi dalam hal- hal sebagai berikut :
  1. Apabila Penghasilan sebelum Pajak lebih besar dari Penghasilan Kena Pajak, maka Beban Pajak pun akan lebih besar dari Pajak Terutang, sehingga akan menghasilkan Kewajiban Pajak Tangguhan.
  2. Sebaliknya apabila Penghasilan Sebelum Pajak lebih kecil dari Penghasilan Kena Pajak, maka Beban Pajaknya akan juga lebih kecil dari Pajak Terutang, sehingga akan menghasilkan Aktiva Pajak Tangguhan.


Prinsip – Prinsip Alokasi Pajak
Pada dasarnya Alokasi Pajak Penghasilan bagi perusahaan sebagai wajib pajak bias mencakup 2 hal, yaitu:
1. Interperiod Allocation
Yaitu proses alokasi pajak penghasilan antar periode tahun buku yang satu dengan periode- periode tahun buku berikut atau sesudahnya. Alokasi pajak penghasilan antar periode tahun buku ini diperlukan karena adanya perbedaan terhadap jumlah laba kena pajak dan laba akuntansi.

2. Intraperiod Allocation
Yaitu proses alokasi pajak penghasilan dalam suatu periode akuntansi karena adanya perbedaan tarif pajak yang dikenakan terhadap tiap- tiap komponen laba atau pendapatan ( Misalnya, tarif pajak untuk laba sebelum pos luar biasa berbeda dengan tarif pajak untuk laba atau rugi luar biasa ).

Karena Undang – Undang Perpajakan di Indonesia tidak mengenal diskriminasi tarif yang diberlakukan terhadap tiap – tiap komponen laba atau pendapatan, maka masalah Intraperiod Allocation praktis tidak pernah dijumpai, sehingga pembahasan lebih dititikberatkan pada masalah Interperiod Allocation.

Metode Alokasi Pajak Interperiode
Metode alokasi pajak digunakan untuk mempertanggungjawabkan pengaruh – pengaruh pajak dan bagaimana pengaruh- pengaruh tersebut harus di sajikan dalam laporan keuangan. Ada tiga metode untuk mengalokasikan pajak yaitu :
  1. Deferral Method ( Metode Pajak Tangguhan )
  2. Liability Method ( Metode Kewajiban )
  3. Net – of – Tax Method ( Metode Pajak Neto )

1. Deferral Method ( Metode Pajak Tangguhan )
Dalam metode ini menggunakan pendekatan laba rugi yang memandang perbedaan perlakuan antara akuntansi dan perpajakan dari sudut pandang laporan laba rugi, yaitu kapan suatu transaksi diakui dalam laporan laba rugi baik dari segi komersial maupun fiscal. Pendekatan ini mengenal istilah perbedaan waktu dan perbedaan permanen.

Hasil perhitungan dari pendekatan ini adalah pergerakan yang akan diakui sebagai Pajak Tangguhan pada laporan laba rugi. Metode ini lebih menekankan Matching Principle pada periode terjadinya perbedaan tersebut.

Keunggulan dan Kelemahan dari metode ini adalah :
  1. Metode pajak tangguhan lebih menekankan pada pengukuran berapa besar pengematan pajak kini akibat perbedaan temporer tersebut yang dialokasikan pada periode mendatang. Sedangkan di lain pihak, metode kewajiban tekanannya pada berapa besar pengeluaran kas yang akan dilakukan di masa mendatang untuk keperluan pajak penghasilan terutang.
  2. Metode pajak tangguhan lebih obyektif bila dibandingkan dengan metode kewajiban, karena tidak menggunakan estimasi atau asumsi berkenaan dengan waktu pemulihan penhasilan kena pajak kini maupun pada periode pemulihan atau tarif pajak.
  3. Baik metode pajak tangguhan maupun metode kewajiban mengungkapkan secara terpisah berkenaan dengan pajak tangguhan di neraca dan laba-rugi perusahaan dan tidak tergabung dalam nilai individu asset atau kewajiban, penghasilan atau biaya, seperti halnya pada metode pajak netto.
  4. Kelemahan yang serius pada metode pajak tangguhan adalah tidak terdapatnya konsep mendasar atau teori yang rasional yang mempermasalahkan kredit paja tangguhan. Kredit tersebut tidak memiliki atribut yang lazimnya sebagai utang menurut akuntansi, dan malahan. Seolah-olah merupakan klaim pemilik atas asset perusahaan. Para direksi lebih memfokuskan pada masalah laporan laba-rugi dan obyektivitas pengukuran beban pajak dalam metode pajak tangguhan, dibandingkan dengan perhatiannya terhadap neraca perushaan dan konstitensi teori kredit pajak tangguhan dengan ekuitas lainnya.

2. Liability Method ( Metode Kewajiban )
Metode ini menggunakan pendekatan neraca (balance sheet approach) yang menekankan pada kegunaan laporan keuangan dalam mengevaluasi posisi keuangan dan memprediksi aliran kas pada masa yang akan datang. Pendekatan neraca memandang perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan dari sudut pandang neraca, yaitu perbedaan antara saldo buku menurut komersial dan dasar pengenaan pajaknya.

Pendekatan ini mengenal istilah perbedaan temporer dan non temporer.
Beban pajak tangguhan di laporkan di laba rugi bagian taksiran PPh sebagai komponen pajak tangguhan, sedangkan penghasilan pajak tangguhan harus dilaporkan di laba rugi sebagai komponen negative dari beban pajak tangguhan.

Baca Juga

3. Net – of – Tax Method ( Metode Pajak Neto )
Pada metode ini tidak ada pajak tangguhan yang diakui. Konsekuensi dari pajak atas perbedaan temporer tidak dilaporkan secara terpisah, sebaliknya diperlakukan sebagai penyesuian atas niali aktiva atau kewajiban tertentu dan penghasilan atau beban yang terkait. Dalam metode ini, beban pajak yang disajikan dalam laporan laba rugi sama dengan jumlah pajak penghasilan yang terutang menurut SPT Tahunan.

Menurut Standar Akuntansi Keuangan ( PSAK 46 ) di antara ketiga metode tersebut, hanya Deferral Method ( Metode Pajak Tangguhan ) yang diperkenankan digunakan.

Terpilihnya metode pajak tangguhan untuk digunakan dalam penyusunan laporan keuangan, karena secara umum dapat dikatakan bahwa metode ini memasukkan alokasi perbedaan temporer yang komprehensif dan bukan alokasi perbedaan temporer yang parsial

Selain itu keunggulan dan kelemahan dari metode ini adalah : metode pajak tangguhan lebih menekankan pada pengukuran berapa besar penghematan pajak kini akibat perbedaan temporer tersebut yang dialokasikan pada periode mendatang.Sedangkan di lain pihak, metode kewajiaban tekanannya pada berapa besar pengeluaran kas yang akan dilakukan di masa mendatang untuk keperluan pajak penghasilan terutang.

Perbedaan Permanen Dan Perbedaan Waktu
Perbedaan Permanen
Pada dasarnya, perbedaan permanen tersebut muncul, disebabkan oleh kebijaksanaan ekonomi atau disebabkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang menghendaki penghapusan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang memberatkan salah satu sub sector dari sub sector perekonomian.

Perbedaan permanen tersebut dapat terbentuk :
  • Penghasilan tertentu, baik sebagian maupun seluruhnya dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan
  • Kelompok wajib pajak tertentu, baik sebagian maupun seluruhnya dibebaskan dari pembayaran pajak.
  • Pengurangan khusus yang diberikan kepada wajib pajak atau pengurangan secara selektif yang diberlakukan terhadap wajib pajak tertentu.

Dengan demikian akan terjadi perbedaan sebagai berikut :
  • Bagian akuntansi keuangan merupakan penghasilan, tetapi bagi akuntansin pajak pengahsilan tersebut bukan merupakan penghasilan (tidak objek pajak) atau merupakan penghasilan yang diotangguhkan pengenaan pajaknya.
  • Bagian akuntansi keuangan sudah merupakan pengeluaran, tetapi bagi akuntansin pajak pengeluaran tersebut tidak dapat dikurangkan sebagai biaya.
  • Bagian akuntansi keuangan tidak atau belum merupakan biaya, tetapi bagia akuntansi pajak pengeluaran tersebut dapat dikurangkan sebagai biaya.

Perbedaan Waktu atau Sementara
Beda waktu maksudnya secara keseluruhan beban atau pendapatan akuntansi maupun perpajakan sebenarnya sama, tetapi berbeda alokasi setiap tahunnya. Beda waktu dapat berasal dari perbedaan akrual dan realisasi, penyusutan, amortisasi, dan kompensasi keruagian fiscal antara akuntansi dan perpajakan. Laba yang dihasilkan oleh perusahaan merupakan obyek pajak penghasilan. Beda waktu akan menimbulkan asset atau kewajiban pajak tangguhan. Perbedaan tersebut dapat dibagi dalam 4 kelompok :
  1. Penghasilan yang didasarkan pada akuntansi pajak sudah merupakan penghasilan yang sudah dapat dikenakan pajak, tapi berdasarkan akuntansi keuangan, merupakan penghasilan yang masih akan diterima.
  2. Penghasilan yeng berdasarkan akuntansi pajak sudah merupakan penghasilan yang sudah dikenakan pajak, tetapi berdasarkan akuntansi keuangan, merupakan penghasilan yang diterima dimuka.
  3. Beban atau pengeluaran yang berdasarkan akuntansi pajak sudah dapat dikurangkan sebagai biaya, tetapi berdasarkan akuntansi keuangan merupakan beban atau pengeluaran yang dibayar dimuka.
  4. Beban atau pengeluaran yang berdasarkan akuntansi pajak sudah dapat dikurangkan sebagai biaya, tetapi berdasarkan akuntansi keuangan merupakan beban atau pengeluaran yang masih akan dibayar.

Pencatatan dan Penyajiannya
Pengakuan aset dan kewajiban Pajak Tangguhan dilakukan terhadap rugi fiscal yang masih dapat dikompensasikan dan beda waktu antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiscal yang dikenakan pajak, dikalikan dengan tarif pajak yang berlaku. Karena tarif Pajak Penghasilan berubah – ubah dari waktu ke waktu, maka diperlukan suatu metode alokasi agar diperoleh kepastian dan perlakuan yang konsisten terhadap pajak penghasailan tersebut beserta penyajiannya dalam Laporan Keuangan. Dalam aplikasinya, tarif pajak maksimum PPh 30% digunakan karena alasan kepraktisan.

Pencatatan
Jurnal untuk mencatat timbulnya asset pajak tangguhan adalah
Aset pajak tangguhan (D)
Pendapatan pajak tangguhan (K)
Jurnal untuk mencatat timbulnya kewajiban pajak tangguhan adalah
Beban pajak tangguhan (D)
Kewajiban pajak tangguhan (K)
Penyajian pajak tangguhan
  1. Aset pajak dan kewajiban pajak harus disajikan terpisah dari aset dan kewajiban lainnya dalam neraca.
  2. Aset dan kewajiban pajak tangguhan harus dibedakan dari aset pajak kini (tax receivable/prepaid tax) dan kewajiban pajak kini (tax payable).
  3. Aset atau kewajiban pajak tangguhan tidak boleh disajikan sebagai aset atau kewajiban lancar.
  4. Aset pajak kini harus dikompensasikan (offset) dengan kewajiban pajak kini dan iumlah netonya disajikan dalam neraca.
  5. Beban (penghasilan) pajak yang berhubungan dengan laba atau rugi dari aktivitas normal harus disajikan tersendiri pada laporan laba rugi.
  6. Aset pajak tangguhan disajikan terpisah dengan akun tagihan restitusi PPh dan kewajiban tangguhan juga disajikan terpisah dengan utang PPh 29.
  7. PPh final:
    • Apabila nilai tercatat aset atau kewajiban yang berhubungan dengan PPh final berbeda dari Dasar Pengenaan Pajaknya, maka perbedaan tersebut tidak boleh diakui sebagai aset atau kewajiban pajak tangguhan.
    • Atas penghasilan yang telah dikenakan PPh final, beban pajak diakui proporsional dengan jumlah pendapatan menurut akuntansi yang diakui pada periode berjalan.
    • Selisih antara jumlah PPh final yang terutang dengan jumlah yang dibebankan sebagai pajak kini pada perhitungan laba rugi diakui sebagai Pajak Dibayar di Muka dan Utang Pajak.
    • Akun PPh final dibayar di muka harus disajikan terpisah dari PPh final yang masih harus dibayar.

Perlakuan akuntansi untuk hal khusus:

  1. Jumlah tambahan pokok dan denda pajak yang ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak harus dibebankan sebagai pendapatan atau beban lain-lain pada Laporan Laba Rugi periode berjalan.
  2. Apabila diajukan keberatan dan atau banding, pembebanannya ditangguhkan.
  3. Apabila terdapat kesalahan mendasar, perlakuan akuntansinya mengacu pada PSAK 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk periode berjalan, kesalahan mendasar, dan perubahan kebijakan akuntansi.

Penyajian dalam laporan keuangan
Laba sebelum PPh xxx
PPh:
• PajakKini xxx
• Pajak Tangguhan xxx  (xxx)
Laba Setelah PPh xxx

Contoh Soal
Contoh 1:
Laba sebelum pajak tahun 2006 = Rp 900.000.000. Koreksi fiscal atas laba tersebut adalah:
a. Pendapatan bunga deposito Rp 60.000.000.
b. Beban jamuan tanpa daftar nominatif Rp 40.000.00
c. Penyusutan fiskal lebih kecil Rp 15.000.000 daripada penyusutan komersial.
Angsuran PPh 25 Rp 20.000.000 per bulan.

Pertanyaan:
a. Tentukan Penghasilan Kena Pajak.
b. Tentukan PPh Kurang/Lebih Bayar.
c. Tentukan aset atau kewajiban pajak tangguhan.
d. Buatlah jurnal dan penyajiannya.

Jawab:
a. Laba sebelum pajak  Rp 900.000.000
Koreksi beda tetap:
-/- Pendapatan bunga deposito(Rp 60.000.000)
+/+ Beban jamuan Rp 40.000.000 (Rp   20.000.000)
Total beda tetap          Rp 880.000.000

Koreksi beda waktu :
Total beda tetap Rp 880.000.000
+/+ Penyusutan (Rp   15.000.000)
Total beda waktu Rp 895.000.000

b. Pajak terutang 10% x Rp   50.000.000 = Rp     5.000.000
15% x Rp   50.000.000 = Rp     7.500.000
30% x Rp 795.000.000 = Rp 238.500.000
      Rp 251.000.000
Kredit PPh 25      (Rp 240.000.000)
PPh Kurang Bayar (PPh 29)       Rp   11.000.000

c. Aset Pajak Tangguhan: 30% x Rp 15.000.000 = Rp 4.500.000
d. Jurnal:
Penyajian :
Laba sebelum pajak Rp 900.000.000
Pajak Kini Rp 251.000.000
Pajak Tangguhan (Rp 4.500.000)
 (Rp 246.500.000)
Laba Bersih Rp 653.500.000

Contoh 2:
Laba sebelum pajak tahun 2006 = Rp 700.000.000. Koreksi fiskal atas laba tersebut adalah:
a. Pendapatan sewa bangunan Rp 50.000.000.
b. Beban bunga pajak Rp 10.000.000.
c. Beban pemberian sembako Rp 40.000.000.
d. Penyusutan komersial Rp 10.000.000 lebih tinggi dan penyusutan fiskal.
e. Pendapatan jasa giro Rp 20.000.000.
f. Beban PPh Rp 5.000.000.
g. Amortisasi fiskal Rp 15.000.000 lebih tinggi dan amortisasi komersial.

Kredit Pajak:
a. PPh 22: Rp 10.000.000
b. PPh 23: Rp 100.000.000
c. PPh 24: Rp 25.000.000
d. PPh 25: Rp 15.000.000

Pertanyaan:
a. Tentukan Penghasilan Kena Pajak.
b. Tentukan pajak Kurang/Lebih Bayar.
c. Tentukan aset atau kewajiban pajak tangguhan.
d. Buatlah jurnal dan penyajiannya.

Baca Juga

Jawab:
a. Laba sebelum pajak Rp 700.000.000
Koreksi beda tetap:
-/- Pendapatan sewa bangunan (Rp  50.000.000)
-/- Pendapatan jasa giro (Rp  20.000.000)
+/+ Beban bunga pajak Rp  10.000.000
+/+ Beban pemberian sembako Rp  40.000.000
+/+ Beban PPh Rp    5.000.000        (Rp  15.000.000)
Total beda tetap                 Rp 685.000.000

Read More

CARA HITUNG PAJAK PENGHASILAN ORANG PRIBADI

SUBJEK PAJAK
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif wajib mendaftarkan diri pada kantor Ditjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Subyek Pajak Penghasilan
Yang menjadi Subyek Pajak (UU No.36 thn 2008 ttg PPh Psl 2 ayat 1) adalah :
1. a. orang pribadi; b. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Badan
3. Bentuk Usaha Tetap

Subyek Pajak Dalam Negeri
Yang dimaksud dengan Subyek Pajak Dalam Negeri (Ps 2 ayat 3 jo PER-43/PJ/2011) adalah :
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
3. Warisan yang belum terbagi (sebagai satu kesatuan), menggantikan yang berhak.

Subyek Pajak Luar Negeri
Yang dimaksud dengan Subyek Pajak Luar Negeri (Pasal 2 ayat 4) adalah :
1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan serta badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan serta badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Bentuk Usaha Tetap
Yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap adalah :
1. Bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau
2. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Bukan Subyek Pajak Penghasilan
Yang tidak termasuk Subyek Pajak (Pasal 3) adalah :
1. Badan perwakilan negara asing.
2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat
  • Bukan warga negara Indonesia,
  • Mereka tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut di Indonesia, dan
  • Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.

3. Organisasi-organisasi international yang ditetapkan dengan Kepmen Keuangan, dengan syarat :
  • Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan
  • tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.

4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :
  • Bukan warga negara Indonesia,
  • tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh peng- hasilan dari Indonesia.

OBJEK PAJAK PENGHASILAN

OBJEK PAJAK PENGHASILAN
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, yang termasuk didalam pengertian Objek Pajak Penghasilan:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan;
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. Laba usaha.
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
  1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
  2. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
  3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha;
  4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan ; dan
  5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.

e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya “alimentasi” atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
m. Premi asuransi;
Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.
n. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
o. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

Penghasilan yang dikenakan Pajak bersifat Final antara lain :
a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
b. Penghasilan berupa hadiah undian;
c. Penghasilan dari transaksi saham sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannnya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan atau bangunan; dan
e. Penghasilan tertentu lainnya.

BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan, terhadap penghasilan-penghasilan tertentu yang diterima atau diperoleh wajib pajak Orang Pribadi tidak dikenakan Pajak Penghasilan (bukan merupakan Objek Pajak), yaitu :
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh para penerima zakat yang berhak, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat atau pengusaha kecil yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
c. Warisan.
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari wajib pajak atau Pemerintah;
e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwi guna, dan asuransi bea siswa;
f. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;

PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

Penghasilan yang diterima Wajib Pajak dapat berupa penghasilan yang diperoleh dari hubungan kerja atau penghasilan yang diperoleh dari usaha bebas. Pajak Penghasilan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak Penghasilan dengan Penghasilan Kena Pajak. Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar perhitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, di samping kompensasi kerugian, Penghasilan Netto-nya dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia dikenal dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 Undang-undang Pajak Penghasilan, cara menghitung Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.

Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua macam cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu :
1. Perhitungan dengan cara biasa;
2. Perhitungan dengan menggunakan norma perhitungan, termasuk cara perhitungan dengan mempergunakan Norma Perhitungan Khusus yang diperuntukan bagi Wajib Pajak tertentu berdasarkan keputusan Menteri Keuangan.

Sedangkan, Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak dibedakan antara :
1) Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia;
2) Wajib Pajak luar negeri lainnya (yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia).

DASAR PENGENAAN DAN PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PPh PASAL 26
(1) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:
a. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi:
  1. Pegawai Tetap;
  2. penerima pensiun berkala;
  3. Pegawai Tidak Tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi Rp2.025.000,00 (dua juta dua puluh lima ribu rupiah);
  4. Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan.

b. Jumlah penghasilan yang melebihi Rp450.000,00 (empat ratus lima puluh ribu rupiah) sehari, yang berlaku bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp8.200.000,00 (delapan juta dua ratus ribu rupiah);
c. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi Bukan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan;
d. Jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan huruf c.
(2) Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 26 adalah jumlah penghasilan bruto.

PENGURANG PENGHASILAN BRUTO
Penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak, sebelum dikalikan tarif pajak dikurangi lebih dulu penghasilan brutonya dengan pengurang yang dibolehkan, kompensasi kerugian, biaya jabatan, dan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

PENGURANG YANG DIPERBOLEHKAN
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi :
a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalty, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta terwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat labih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan 11 A Undang-undang Pajak Penghasilan.
c. Iuran kepada dan pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
e. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing.
f. Biaya penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia;
g. Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :
  1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
  2. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
  3. telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan
  4. Wajib Pajak harus menyerahkan Daftar Piutang Tidak Dapat Ditagih Kepada Direktorat Jenderal Pajak,

i. Sumbangan dalam rangka penanggulanagan bencana nasional yang ketentuannya diatur Peraturan Pemerintah.
j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
k. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
l. Sumbangan fasilitas pendirikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

KOMPENSASI KERUGIAN
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, apabila penghasilan bruto dari Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap setelah dilakukan pengurangan dengan pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan, didapat kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut, dimulai sejak tahun pajak berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut (Kompensasi Vertikal).

PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.: 101/PMK.010/2016 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2013, sebagai berikut:
a. Rp.54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak pribadi;
b. Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
c. Rp.54.000.000,00 (lima puluh empat juta rupiah) tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami;
d. Rp. 4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap anggota keluarga.

BIAYA JABATAN
Khusus untuk pegawai tetap, di samping biaya-biaya yang disebutkan di atas, dalam menghitung besarnya penghasilan neto, penghasilan brutonya dikurangi juga dengan biaya jabatan. Biaya Jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Besarnya biaya jabatan tersebut ditentukan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah) setahun atau Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan.

PENGELUARAN YANG TIDAK BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN BRUTO.
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan :
a. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi;
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi atau keluarganya.
b. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
c. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan;
e. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
f. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan, dan warisan, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
g. Pajak Penghasilan.
Yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
h. Biaya dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau yang menjadi tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
i. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

TARIF PAJAK PENGHASILAN
Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, besarnya tarif pajak penghasilan yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri adalah :

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00 5 %
Diatas Rp 50.000.000,00 s/d
Rp.250.000.000,00 15 %
Di atas Rp.250.000.000,00 s/d Rp.500.000.000,00 25%
Di atas Rp.500.000.000,00 30%

Contoh penghitungan pajak terutang untuk Wajib Pajak Orang Pribadi :
Jumlah Penghasilan kena Pajak Rp 550.000.000,00
Pajak Penghasilan terutang :
5% x Rp 50.000.000,00 = Rp 2.500.000,00
15% x Rp 200.000.000,00 = Rp 30.000.000,00
25% x Rp. 250.000.000,00 = Rp. 62.500.000,00
30% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 15.000.000,00
Rp 109.500.000,00

CARA MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI.

1. Wajib Pajak Dalam Negeri Yang Menyelenggarakan Pembukuan
Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif bagi Wajib pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, dengan pengurangan-pengurangan sebagai berikut :
1. biaya-biaya yang diperkenankan termasuk kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan;
2. Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan; dan
3. Pengurangan-pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d dan huruf e Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu:
a. Premi asuransi kesehatan, asuransi kesehatan, jiwa, dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
b. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan berupa :
– pemberian makanan dan minuman bagi seluruh pegawai;
– penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Contoh penghitungan bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan :
– Peredaran bruto Rp 600.000.000,00
– Biaya untuk mendapatkan, menagih
Dan memelihara penghasilan Rp 255.000.000,00
– Laba usaha (penghasilan neto usaha) Rp 345.000.000,00
– Penghasilan lainnya Rp 5.000.000,00
– Biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara
penghasilan lainnya tersebut Rp 3.000.000,00 (-)
Rp 2.000.000,00 (+)
Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 347.000.000,00
– Kompensasi kerugian Rp 2.000.000,00 (-)
– Penghasilan kena pajak
(bagi Wajib Pajak Badan) Rp 345.000.000,00
– Pengurangan berupa Penghasilan Tidak
Kena Pajak untuk Wajib Pajak orang
Pribadi Rp 54.000.000,00 (-)
– Penghasilan Kena Pajak
(bagi Wajib Pajak orang pribadi) Rp 291.000.000,00

Contoh Penghitungan dengan Menggunakan Norma Penghitungan
Dalam hal penghasilan neto yang sebenarnya tidak dapat diketahui, maka Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan. Khusus bagi Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Contoh :
– Peredaran bruto Rp 600.000.000,00
– Penghasilan neto (menurut
Norma Penghitungan) misalnya 20% Rp 120.000.000,00
– Penghasilan neto lainnya Rp 5.000.000,00 (+)
– Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 125.000.000,00
– Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp 54.000.000,00 (-)
– Penghasilan Kena Pajak Rp 71.000.000,00

Contoh Penghitungan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Yang Terutang Pajak Dalam Bagian Tahun Pajak.

Apabila kewajiban pajak subyektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau yang berada di Indonesia hanya meliputi sebagian dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak.

Dapat terjadi orang pribadi menjadi Subyek Pajak tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh, misalnya orang pribadi yang mulai menjadi Subyek Pajak pada pertengahan tahun pajak, atau yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya pada pertengahan tahun pajak. Jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut dinamakan bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan penghasilan netto yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.
Contoh :
Orang pribadi kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai Subjek Pajak dalam negeri adalah 3 (tiga) bulan, dan dalam jangka waktu tersebut memperoleh penghasilan sebesar Rp. 36.000.000,00 maka perhitungan Penghasilan Kena Pajaknya adalah :
Penghasilan selama 3 (tiga) bulan Rp. 36.000.000,00
Penghasilan setahun sebesar :
360 x Rp. 36.000.000,00 Rp. 144.000.000,00
3 x 30
Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp. 54.000.000,00 (-)
Penghasilan Kena Pajak Rp. 90.000.000,00

Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak tersebut dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) kemudian dikalikan dengan pajak penghasilan yang terutang untuk 1 (satu) tahun pajak. Untuk keperluan penghitungan pajak penghasilan tersebut, tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
Dari contoh penghitungan diatas diketahui bahwa penghasilan kena pajaknya adalah sebesar Rp 90.000.000,00. Penghitungan pajak penghasilan yang terutang dilakukan sebagai berikut :
Pajak Penghasilan setahun :
5% X Rp 90.000.000,00 = Rp 4.500.000,00

Pajak Penghasilan terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan) adalah :
(3 X 30) X Rp 4.500.000,00 = Rp. 1.125.000,00
360

CARA MENGHITUNG PAJAK PENGHASILAN BAGI WAJIB PAJAK LUAR NEGERI
Cara menghitung Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak luar negeri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia;
2. Wajib Pajak luar negeri lainnya.

Contoh penghitungan Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan penghasilan kena pajaknya pada dasarnya sama dengan cara penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak badan dalam negeri. Pelaksanaan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak luar negeri tersebut dilaksanakan oleh Bentuk Usaha Tetapnya di Indonesia. Oleh karena bentuk usaha tetap berkewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan dan penghasilan kena pajaknya dihitung dengan cara penghitungan biasa, yaitu dihitung dengan cara :
”Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UU PPh dan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh dikurangi dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 9 ayat (1) huruf d dan huruf e Undang-undang Pajak Penghasilan”.

Contoh :
– Peredaran bruto Rp. 400.000.000,00
– Biaya untuk menambahkan, menagih
Dan memelihara penghasilan Rp. 275.000.000,00
– Penghasilan bunga Rp. 5.000.000,00
– Penjualan langsung barang oleh kantor
pusat yang sejenis dengan barang yang
dijual bentuk usaha tetap Rp. 200.000.000,00
– Biaya untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan Rp. 150.000.000,00 (-)
Rp. 50.000.000,00
– Penghasilan yang diterima atau diperoleh
kantor pusat yang mempunyai hubungan
efektif dengan bentuk usaha tetap Rp. 2.000.000,00 (+)
Rp. 182.000.000,00
– Biaya-biaya menurut Pasal 5 ayat (3) Rp. 7.000.000,00 (-)
– Penghasilan Kena Pajak Rp. 175.000.000,00

Contoh penghitungan pajak Wajib Pajak Luar Negeri Lainnya.
Undang-undang Pajak Penghasilan menentukan bahwa bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan tidak melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, kewajiban perpajakannya dilaksanakan dengan cara pemotongan oleh pihak yang wajib melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak Luar Negeri tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan.

Contoh 1:
Subjek Pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp 100.000.000,00 kepada Wajib Pajak luar negeri, maka Subjek Pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp 100.000.000,00.

Contoh 2 :
Seorang atlit dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia, dan kemudian merebut hadiah uang, maka atas hadiah tersebut dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).

Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak tersebut dibagi 360 dan dikalikan dengan pajak yang terutang untuk satu tahun pajak. Untuk keperluan penghitungan pajak, tiap bulan yang penuh dihitung 30 hari. Contoh :
Penghasilan Kena Pajak setahun Rp.54.816.000,00.
Pajak Penghasilan setahun :
5% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00
15% x Rp. 4.816.000,00 = Rp. 722.400,00
= Rp. 3.222.400,00
Pajak Penghasilan terutang dalam bagian tahun pajak (3 bulan)
(3 x 30) x Rp.3.222.400,00. = Rp.805.600,00
360
Read More

Subjek atau Wajib Pajak, Pengertian Pajak PPh Pasal 21

Pengertian Pajak PPh Pasal 21
PPh Pasal 21 merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.


Subjek atau Wajib Pajak PPh pasal 21
Wajib pajak yang dipotong PPh pasal 21 dan/atau PPh pasal 26 adalah orang pribadi yang merupakan:
  1. Pegawai.
  2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua termasuk ahli warisnya.
  3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan.
Yang tidak termasuk Wajib Pajak PPh Pasal 21 yaitu :

    Baca Juga

  1. Pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat lain dari Negara asing dan orang – orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
  2. Pejabat perwakilan organisasi internasional dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf c Undang – Undang Pajak Penghasilan, yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Kebijakan Pajak Penghasilan PPh pasal 21
Dasar hukum Pajak Penghasilan PPh pasal 21 yaitu :
  • Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007.
  • Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
  • Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 541/KMK.04/2000 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak.
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-31/PJ/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21/26.
  • Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Kena Pajak.
  • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Read More

Pihak Yang Memotong dan Penghasilan Yang Di Potong Pada PPh 21

Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21

Pemotong PPh pasal 21 adalah setiap orang pribadi atau badan yang diwajibkan oleh UU adalah :
  • Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai.
  • Bendahara atau pemegang kas pemerintah termasuk bendahara atau pemegang kas yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan.
  • Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan social tenaga kerja dan badan – badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua.
  • Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:
    • Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status subjek pajak dalam negeri, termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya.
    • Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status subjek pajak luar negeri.
    • Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan dan magang.
    • Penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi, serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.

Baca Juga

Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 (Objek Pajak)
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
  1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur;
  2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima paensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;
  3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua dan pembayaran lain jenis;
  4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
  5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan;
  6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun,dan imbalan sejenis dengan nama apapun.


Read More

Bagaimana Penghitungan Pajak Suami-Istri Yang Beda NPWP

Penghitungan Pajak Suami-Istri Beda NPWP 
Ketentuan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) mengatur bahwa ketika suami-istri memilih untuk hidup berpisah (berdasarkan putusan hakim) maka penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajak dilakukan sendiri-sendiri.

Sementara itu, ayat (3) mengatur bahwa jika suami-istri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau istri ingin melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya maka penghitungan pajaknya berdasarkan penghasilan neto suami isteri digabung dan besaran pajak yang harus dibayar oleh masing-masing suami-isteri dihitung secara proporsional. Hal ini berarti jika situasi tersebut terjadi (memiliki perjanjian tertulis pisah harta/penghasilan atau istri ingin melaksanakan sendiri hak dan kewajiban perpajakannya), maka dalam penghitungan pajaknya dilakukan dengan menggabungkan penghasilan neto suami-istri tersebut untuk kemudian besaran masing-masing pajak suami-istri tersebut dihitung sesuai perbandingan penghasilan neto mereka. 

Baca Juga

Penggabungan penghasilan suami istri tersebut, memiliki resiko yaitu pengenaan tarif pajak yang lebih besar atas penghasilan gabungan suami-istri. Secara prinsip, Pajak Penghasilan bersifat progresif yang berarti bahwa semakin besar penghasilan Wajib Pajak semakin besar pula tarif pajaknya. Hal tersebut tercermin dalam ketentuan pasal 17 UU PPh yang mengenakan tarif PPh sebesar 5%, 15%, 25% dan 30% untuk lapisan Penghasilan Kena Pajak tertentu. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan kasus sebagai berikut :      

Suami-istri yang keduanya bekerja dan tidak memiliki anak. Pada tahun 2015, Sang Suami memiliki penghasilan netto sebesar Rp. 200.000.000,- dan istrinya memiliki penghasilan netto setahun Rp. 150.000.000,-. Dalam hal istri memiliki NPWP sendiri dan ingin melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya, maka penghitungan PPh terutangnya akan digabung sbb. : 
Penghasilan Netto Suami                 200.000.000 
Penghasilan Netto Istri                 150.000.000 
Total Penghasilan Netto                 350.000.000 
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/I/0)           75.000.000 (39.000.000 + 36.000.000) 
Penghasilan Kena Pajak         275.000.000
PPh Terutang setahun (  5% x   50.000.000)     2.500.000
.           (15% x 200.000.000)     30.000.000
.          (25% x  25.000.000)         6.250.000
Jumlah PPh gabungan          38.750.000 

Jumlah PPh yang ditanggung oleh suami sebesar :
(200.000.000/350.000.000) x 38.750.000 =  Rp  22.142.857,-. 
Sedangkan PPh yang ditanggung oleh istri sebesar :
(150.000.000/ 350.000.000) x 38.750.000 =  Rp  16.607.143,-  


Keluarga Sebagai Satu Kesatuan Ekonomis  
Sebenarnya UU PPh telah mengatur secara jelas bahwa sistem pengenaan pajak Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, yang berarti bahwa hanya satu Wajib Pajak (yaitu suami sebagai kepala keluarga) yang dikenai Pajak Penghasilan. Sebagai konsekuensi kewajiban perpajakan ada di suami sebagai kepala keluarga, maka kewajiban ber-NPWP hanya ada pada suami. Oleh karena itu, penghasilan (atau kerugian) istri atau anak yang belum dewasa dianggap sebagai penghasilan suami sebagai kepala keluarga yang mewakili kewajiban sebagai Wajib Pajak atas keluarga tersebut. Hal ini berarti, penghasilan dan kerugian istri atau anak yang belum dewasa akan dianggap sebagai penghasilan dan kerugian suami, sehingga dikenai pajak bersama. Akan tetapi, jika penghasilan istri hanya diperoleh dari satu pemberi kerja dan tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami, maka penghasilan tersebut tidak akan digabung dengan penghasilan suami (dengan catatan penghasilan tersebut telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan PPh Pasal 21 UU PPh oleh pemberi kerja). Mekanisme pelaporannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dikelompokkan ke dalam penghasilan yang dikenakan PPh final dan/atau bersifat final.  

Atas penghasilan mereka sudah di potong pajak oleh pemberi kerja dengan perhitungan sebagai berikut: 

a. Penghasilan Netto Suami       200.000.000 
    Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/0)         39.000.000 
    Penghasilan Kena Pajak       161.000.000 
    PPh Terutang setahun (5% x 50.000.000)    2.500.000
             (15% x 111.000.000) 16.650.000
Jumlah PPh yang dibayar oleh Suami 19.150.000 

b.  Penghasilan Netto Istri          150.000.000 
     Penghasilan Tidak Kena Pajak (sendiri)   36.000.000 
     Penghasilan Kena Pajak         114.000.000 
     PPh Terutang setahun (5% x 50.000.000)      2.500.000
              (15% x 64.000.000)      9.600.000
  Jumlah PPh yang dibayar oleh Suami    12.100.000 

Jika PPh-nya dijumlahkan diperoleh hasil sebesar :
Rp 19.150.000,- + Rp 12.100.000,- = Rp. 31.250.000,-  atau lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil penghitungan pada skema 1.  

Ketentuan perpajakan di Indonesia memberikan perlakuan khusus untuk istri yang bekerja, dalam bentuk penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 diperlakukan sebagai final dan tidak perlu digabungkan dengan penghasilan suami. Ini merupakan bentuk penghargaan bagi wanita yang bekerja karena akan menghasilkan pembebanan pajak yang paling minimal. Terlepas dari permasalahan keadilan pajak, ketentuan perpajakan di Indonesia telah memberikan beberapa alternatif dan cukup mengakomodir perkembangan dinamika masyarakat dewasa ini. Hasil simulasi membuktikan bahwa istri yang memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja dan penghasilannya sudah dipotong PPh Pasal 21, disarankan sebaiknya menggunakan NPWP suami. Dengan demikian, jika karyawati telah memiliki NPWP sebelum menikah, maka sebaiknya mengajukan penghapusan NPWP. 
Read More

Tanya Jawab Umum Tentang Tax Amnesty

Pengertian Tax Amnesty
Pengertian Tax amnesty adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak. 

Beberapa bulan terakhir ini berita di televisi didominasi oleh topik tax amnesty dan besarnya penerimaan uang tebusan tax amnesty, sebenarnya apa itu tax amnesty? apa itu pengmpunan pajak? dan apa itu uang tebusan dalam amnesti pajak? berikut penjelasannya tax amnesty Indonesia.

Secara umum Pengertian Tax Amnesty adalah kebijakan pemerintah yang diberikan kepada pembayar pajak tentang forgiveness / pengampunan pajak, dan sebagai ganti atas pengampunan tersebut pembayar pajak diharuskan untuk membayar uang tebusan. Mendapatkan pengampunan pajak artinya data laporan yang ada selama ini dianggap telah diputihkan dan atas beberapa utang pajak juga dihapuskan.

Pengertian Tax Amnesty Menurut Undang Undang

Menurut "UU No 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak" Tax Amnesty adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pengertian Tax Amnesty Menurut PMK No. 118/PMK.03/2016
Menurut "PMK No. 118/PMK.03/2016" Tax Amnesty adalah adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak.

Latar Belakang Tax Amnesty

Latar belakang Tax Amnesty atau mengapa Indonesia perlu memberikan tax amnesty kepada para pembayar pajak (wajib pajak) diantaranya adalah sebagai berikut :

  1. Penyebab Pertama Indonesia memberlakukan Tax Amnesty adalah karena terdapat Harta milik warga negara baik di dalam maupun di luar negeri yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; 
  2. Tax Amnesty adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, perlu menerbitkan kebijakan Pengampunan Pajak;
  3. Kasus Panama Pappers
Dari ketiga latar belakang tax amnesty tersebut maka presiden republik Indonesia pada tanggal 1 Juli 2016 mengesahkan Undang Undang Tax Amnesty Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.

Subjek Tax Amnesty

Subjek Tax Amnesty adalah warga negara Indonesia baik yang ber NPWP maupun tidak yang memiliki harta lain selain yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak (warga negara yang pembayaran pajaknya selama ini masih belum sesuai dengan kondisi nyata)

Objek Tax Amnesty

Objek Tax Amnesty adalah Harta yang dimiliki oleh Subjek Tax Amnesty, artinya yang menjadi sasaran dari pembayaran uang tebusan adalah atas Harta baik itu yang berada di dalam negeri maupun diluar negeri. Pengertian Tax Amnesty secara umum saya jabarkan dalam tanya jawab tax amnesty dibawah ini.

Tanya Jawab Umum Terkait Pengertian Tax Amnesty

Berikut ini kumpulan FAQ (Frequently Asked Question) Terkait Pengertian Tax Amnesty, Subjek Tax Amnesty dan Objek Tax Amnesty.

1. Apa yang dimaksud dengan Tax Amnesty / Pengampunan Pajak?

Jawaban:
Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Dasar hukum : Pasal 1 angka 1 UU No 11 Tahun 2016

2. Apa yang dimaksud dengan uang tebusan?

Jawaban:
Sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan Tax Amnesty / Pengampunan Pajak. Dasar hukum : Pasal 1 
angka 7 UU No 11 Tahun 2016

3. Sampai kapan periode penyampaian Surat Pernyataan Pengampunan Pajak ini berlangsung?

Jawaban:
Periode penyampaian Surat Pernyataan Pengampunan Pajak berlangsung sejak Undang-Undang Pengampunan Pajak diundangkan sampai dengan 31 Maret 2017. Dasar hukum : Pasal 4 UU No 11 Tahun 2016

4. Syarat apa saja yang harus dipenuhi Wajib Pajak untuk mengajukan Tax Amnesty / Pengampunan Pajak?

Jawaban:
Syarat yang harus dipenuhi oleh wajib pajak apabila hendak mengajukan pengampunan pajak atau tax amnesty adalah sebagai berikut :
  1. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
  2. membayar Uang Tebusan;
  3. melunasi seluruh Tunggakan Pajak;
  4. melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau melunasi pajak yang seharusnya tidak dikembalikan bagi Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan;
  5. menyampaikan SPT PPh Terakhir bagi Wajib Pajak yang telah memiliki kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan mencabut permohonan:

    • pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
    • pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dalam Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak yang di dalamnya terdapat pokok pajak yang terutang;
    • pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar;
    • keberatan;
    • pembetulan atas surat ketetapan pajak dan surat keputusan;
    • banding;
    • gugatan; dan/atau
    • peninjauan kembali, dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan.

1. Dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Repatriasi), Wajib Pajak juga harus memenuhi persyaratan yaitu mengalihkan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menginvestasikan Harta dimaksud di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat selama 3 (tiga) tahun:
  • sebelum 31 Desember 2016 bagi Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan pada periode setelah Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku sampai dengan 31 Desember 2016;
  • sebelum 31 Maret 2017 yang menyampaikan Surat Pernyataan pada periode sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan 31 Maret 2017.

2. Dalam hal Wajib Pajak mengungkapkan Harta yang berada dan/atau ditempatkan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (deklarasi), Wajib Pajak juga harus memenuhi persyaratan yaitu Wajib Pajak tidak dapat mengalihkan Harta ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat selama 3 (tiga) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Keterangan. Dasar hukum : Pasal 8 ayat (3), (6), dan (7)

5. Dalam hal Wajib Pajak bermaksud mengalihkan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Wajib Pajak harus mengalihkan Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menginvestasikan Harta dimaksud di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia paling singkat selama jangka waktu 3 (tiga) tahun, jangka waktu 3 tahun ini terhitung sejak kapan?

Jawaban:
Jangka waktu 3 (tiga) tahun dihitung sejak Harta dialihkan ke dalam wilayah NKRI. Dalam hal Wajib Pajak melakukan pengalihan melalui cabang Bank Persepsi yang berada di luar negeri, jangka waktu 3 tahun dihitung sejak WP mengalihkan Harta melalui Cabang Bank Persepsi dimaksud. Dasar hukum: Penjelasan Pasal 8 ayat (6)UU No 11 Tahun 2016

6. Kemana Wajib Pajak dapat menyampaikan surat pernyataan untuk memperoleh Tax Amnesty /  Pengampunan Pajak?

Jawaban:
Untuk memperoleh Tax Amnesty /  Pengampunan Pajak, Wajib Pajak harus menyampaikan Surat Pernyataan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat lain yang ditentukan oleh Menteri. Dasar hukum : Pasal 10 ayat (1) UU No 11 Tahun 2016

7. Berapa kali surat pernyataan untuk memperoleh Tax Amnesty /  pengampunan pajak dapat diajukan?

Jawaban:
Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. Dasar hukum : Pasal 10 ayat (7) UU No 11 Tahun 2016

8. Apakah boleh mengajukan Tax Amnesty /  Pengampunan Pajak kembali dalam periode pengenaan tarif yang sama?

Jawaban:
Boleh, Pengajuan Tax Amnesty /  Pengampunan Pajak dapat dilakukan dalam periode pengenaan tarif yang sama asalkan tidak melebihi 3 (kali) dalam periode Pengampunan Pajak (sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017). Dasar hukum : Pasal 10 ayat (7) UU No 11 Tahun 2016

9. Apakah surat pernyataan kedua atau ketiga harus diajukan setelah terbit Surat Keterangan Pengampunan Pajak atas pengajuan pengampunan sebelumnya?

Jawaban:
Tidak, Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan kedua atau ketiga sebelum atau setelah Surat Keterangan atas Surat Pernyataan yang pertama atau kedua diterbitkan. Dasar hukum : Pasal 10 ayat (8) UU No 11 Tahun 2016

10. Apakah SPT Tahunan Tahun Pajak 2015 wajib disampaikan sebelum mengajukan permohonan  Tax Amnesty / pengampunan pajak?

Jawaban:
Ya, Wajib Pajak harus terlebih dahulu menyampaikan SPT Tahunan untuk tahun pajak 2015, kecuali: a. Wajib Pajak yang baru memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak pada tahun 2016 dan 2017; atau b. Wajib Pajak yang akhir tahun bukunya berakhir pada periode 1 Januari 2015 sampai dengan 30 Juni 2015, karena yang wajib disampaikan adalah SPT Tahunan Tahun Pajak 2014 Dasar hukum : Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 1 angka 12 UU No 11 Tahun 2016

11. Apakah penyampaian surat pernyataan untuk memperoleh Tax Amnesty /  pengampunan pajak boleh disampaikan melalui pos?

Jawaban:
Tidak, surat pernyataan harus disampaikan langsung ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Dasar hukum: Pasal 10 ayat (1) UU No 11 Tahun 2016

12. Apakah penandatanganan surat pernyataan untuk memperoleh pengampunan pajak boleh diwakilkan?

Jawaban:
Tidak boleh Bagi Wajib Pajak orang pribadi, tetapi boleh bagi Wajib Pajak badan dalam hal pemimpin tertinggi berdasarkan akta pendirian badan atau dokumen lain yang dipersamakan berhalangan Dasar hukum Pasal 8 ayat (2) UU No 11 Tahun 2016

13. Apakah penyampaian Surat Pernyataan untuk memperoleh pengampunan pajak boleh diwakilkan?

Jawaban:
Penyampaian Surat Pernyataan boleh diwakilkan dengan membawa surat penunjukan.

14. Dalam hal penandatangan surat pernyataan dilakukan oleh kuasa Wajib Pajak Badan, haruskah dengan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan perpajakan?

Jawaban:
Tidak perlu surat kuasa khusus. Dasar hukum: Pasal 8 ayat (2) huruf c UU No 11 Tahun 2016

Read More