Penghitungan Pajak Suami-Istri Beda NPWP
Ketentuan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) mengatur bahwa ketika suami-istri memilih untuk hidup berpisah (berdasarkan putusan hakim) maka penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajak dilakukan sendiri-sendiri.
Sementara itu, ayat (3) mengatur bahwa jika suami-istri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau istri ingin melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya maka penghitungan pajaknya berdasarkan penghasilan neto suami isteri digabung dan besaran pajak yang harus dibayar oleh masing-masing suami-isteri dihitung secara proporsional. Hal ini berarti jika situasi tersebut terjadi (memiliki perjanjian tertulis pisah harta/penghasilan atau istri ingin melaksanakan sendiri hak dan kewajiban perpajakannya), maka dalam penghitungan pajaknya dilakukan dengan menggabungkan penghasilan neto suami-istri tersebut untuk kemudian besaran masing-masing pajak suami-istri tersebut dihitung sesuai perbandingan penghasilan neto mereka.
Sementara itu, ayat (3) mengatur bahwa jika suami-istri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis atau istri ingin melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya maka penghitungan pajaknya berdasarkan penghasilan neto suami isteri digabung dan besaran pajak yang harus dibayar oleh masing-masing suami-isteri dihitung secara proporsional. Hal ini berarti jika situasi tersebut terjadi (memiliki perjanjian tertulis pisah harta/penghasilan atau istri ingin melaksanakan sendiri hak dan kewajiban perpajakannya), maka dalam penghitungan pajaknya dilakukan dengan menggabungkan penghasilan neto suami-istri tersebut untuk kemudian besaran masing-masing pajak suami-istri tersebut dihitung sesuai perbandingan penghasilan neto mereka.
Baca Juga
Penggabungan penghasilan suami istri tersebut, memiliki resiko yaitu pengenaan tarif pajak yang lebih besar atas penghasilan gabungan suami-istri. Secara prinsip, Pajak Penghasilan bersifat progresif yang berarti bahwa semakin besar penghasilan Wajib Pajak semakin besar pula tarif pajaknya. Hal tersebut tercermin dalam ketentuan pasal 17 UU PPh yang mengenakan tarif PPh sebesar 5%, 15%, 25% dan 30% untuk lapisan Penghasilan Kena Pajak tertentu. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan kasus sebagai berikut :
Suami-istri yang keduanya bekerja dan tidak memiliki anak. Pada tahun 2015, Sang Suami memiliki penghasilan netto sebesar Rp. 200.000.000,- dan istrinya memiliki penghasilan netto setahun Rp. 150.000.000,-. Dalam hal istri memiliki NPWP sendiri dan ingin melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya, maka penghitungan PPh terutangnya akan digabung sbb. :
Penghasilan Netto Suami 200.000.000
Penghasilan Netto Istri 150.000.000
Total Penghasilan Netto 350.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/I/0) 75.000.000 (39.000.000 + 36.000.000)
Penghasilan Kena Pajak 275.000.000
PPh Terutang setahun ( 5% x 50.000.000) 2.500.000
. (15% x 200.000.000) 30.000.000
. (25% x 25.000.000) 6.250.000
Jumlah PPh gabungan 38.750.000
Jumlah PPh yang ditanggung oleh suami sebesar :
(200.000.000/350.000.000) x 38.750.000 = Rp 22.142.857,-.
Sedangkan PPh yang ditanggung oleh istri sebesar :
(150.000.000/ 350.000.000) x 38.750.000 = Rp 16.607.143,-
Keluarga Sebagai Satu Kesatuan Ekonomis
Sebenarnya UU PPh telah mengatur secara jelas bahwa sistem pengenaan pajak Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, yang berarti bahwa hanya satu Wajib Pajak (yaitu suami sebagai kepala keluarga) yang dikenai Pajak Penghasilan. Sebagai konsekuensi kewajiban perpajakan ada di suami sebagai kepala keluarga, maka kewajiban ber-NPWP hanya ada pada suami. Oleh karena itu, penghasilan (atau kerugian) istri atau anak yang belum dewasa dianggap sebagai penghasilan suami sebagai kepala keluarga yang mewakili kewajiban sebagai Wajib Pajak atas keluarga tersebut. Hal ini berarti, penghasilan dan kerugian istri atau anak yang belum dewasa akan dianggap sebagai penghasilan dan kerugian suami, sehingga dikenai pajak bersama. Akan tetapi, jika penghasilan istri hanya diperoleh dari satu pemberi kerja dan tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami, maka penghasilan tersebut tidak akan digabung dengan penghasilan suami (dengan catatan penghasilan tersebut telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan PPh Pasal 21 UU PPh oleh pemberi kerja). Mekanisme pelaporannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan dikelompokkan ke dalam penghasilan yang dikenakan PPh final dan/atau bersifat final.
Atas penghasilan mereka sudah di potong pajak oleh pemberi kerja dengan perhitungan sebagai berikut:
a. Penghasilan Netto Suami 200.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/0) 39.000.000
Penghasilan Kena Pajak 161.000.000
PPh Terutang setahun (5% x 50.000.000) 2.500.000
(15% x 111.000.000) 16.650.000
Jumlah PPh yang dibayar oleh Suami 19.150.000
b. Penghasilan Netto Istri 150.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (sendiri) 36.000.000
Penghasilan Kena Pajak 114.000.000
PPh Terutang setahun (5% x 50.000.000) 2.500.000
(15% x 64.000.000) 9.600.000
Jumlah PPh yang dibayar oleh Suami 12.100.000
Jika PPh-nya dijumlahkan diperoleh hasil sebesar :
Rp 19.150.000,- + Rp 12.100.000,- = Rp. 31.250.000,- atau lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil penghitungan pada skema 1.
Ketentuan perpajakan di Indonesia memberikan perlakuan khusus untuk istri yang bekerja, dalam bentuk penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 diperlakukan sebagai final dan tidak perlu digabungkan dengan penghasilan suami. Ini merupakan bentuk penghargaan bagi wanita yang bekerja karena akan menghasilkan pembebanan pajak yang paling minimal. Terlepas dari permasalahan keadilan pajak, ketentuan perpajakan di Indonesia telah memberikan beberapa alternatif dan cukup mengakomodir perkembangan dinamika masyarakat dewasa ini. Hasil simulasi membuktikan bahwa istri yang memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja dan penghasilannya sudah dipotong PPh Pasal 21, disarankan sebaiknya menggunakan NPWP suami. Dengan demikian, jika karyawati telah memiliki NPWP sebelum menikah, maka sebaiknya mengajukan penghapusan NPWP.
EmoticonEmoticon