I. PENGERTIAN BARANG MILIK NEGARA
Barang Milik
Negara, atau yang biasa disingkat BMN, merupakan bagian tak terpisahkan dari
Keuangan Negara sebagaimana tertuang dalam pasal 1 Undang- undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa: “Keuangan Negara adalah
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut.” Pendahuluan”
Dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pada pasal 1
disebutkan bahwa: “Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.” Di
dalam penatausahaannya
BMN dapat dibedakan sebagai aset lancar dan aset tetap dan aset
tetap lainnya.
Dimana tidak termasuk dalam pengertian BMN adalah barang-barang yang dikuasai dan atau dimiliki oleh:
a. Pemerintah Daerah (sumber dananya berasal dari APBD termasuk yang sumber dananya berasal dari APBN tetapi sudah diserahterimakan kepada Pemerintah Daerah).
b. Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah yang terdiri dari:
1) Perusahaan Perseroan, dan
2) Perusahaan Umum.
c. Bank Pemerintah dan Lembaga Keuangan Milik Pemerintah.
Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, pengertian
“perolehan lainnya yang sah” disebutkan antara lain meliputi hibah/sumbangan,
pelaksanaan perjanjian/kontrak, diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang, dan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
II. KLASIFIKASI BARANG MILIK NEGARA
Dalam akuntansi pemerintahan, BMN merupakan bagian dari aset pemerintah pusat yang berwujud. Sedangkan pengertian aset menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah adalah sebagai berikut: Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.
Dalam modul Sistem Informasi dan Manajemen Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK-BMN), Tim PPAKP ( 2008, 8 ) menyatakan bahwa BMN dalam SIMAK-BMN terbagi menjadi aset lancar, aset tetap, aset lainnya, dan aset bersejarah dengan penjelasan sebagai berikut : Aset lancar adalah aset yang diharapkan segera untuk direalisasikan, dipakai, atau dimiliki untuk dijual dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pelaporan. Aset tetap adalah aset berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Sedangkan aset lainnya adalah aset yang tidak bisa dikelompokkan ke dalam aset lancar maupun aset tetap. Adapun aset bersejarah merupakan aset yang mempunyai ketetapan hukum sebagai aset bersejarah disebabkan karena kepentingan budaya, lingkungan dan sejarah. Aset bersejarah tidak wajib disajikan di dalam neraca tetapi harus diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah, dalam Lampiran I.08 PSAP 07 tentang Akuntansi Aset Tetap dijelaskan bahwa aset tetap diklasifikasikan berdasarkan kesamaan dalam sifat atau fungsinya dalam aktivitas operasi entitas. Klasifikasi aset tetap tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Tanah
Tanah yang dikelompokkan sebagai aset tetap ialah tanah yang diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai.
2. Peralatan dan Mesin
Peralatan dan mesin mencakup mesin-mesin dan kendaraan bermotor, alat elektonik, inventaris kantor, dan peralatan lainnya yang nilainya signifikan dan masa manfaatnya lebih dari 12 (dua belas) bulan dan dalam kondisi siap pakai.
3. Gedung dan Bangunan
Gedung dan bangunan mencakup seluruh gedung dan bangunan yang diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai.
4. Jalan, Irigasi, dan Jaringan
Jalan, irigasi, dan jaringan mencakup jalan, irigasi, dan jaringan yang dibangun oleh pemerintah serta dimiliki dan/atau dikuasai oleh pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai.
5. Aset Tetap Lainnya
Aset tetap lainnya mencakup aset tetap yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam kelompok aset tetap di atas, yang diperoleh dan dimanfaatkan untuk kegiatan operasional pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai.
6. Konstruksi dalam Pengerjaan.
Konstruksi dalam pengerjaan mencakup aset tetap yang sedang dalam proses pembangunan namun pada tanggal laporan keuangan belum selesai seluruhnya.
Untuk memudahkan identifikasi, maka setiap BMN diklasifikasikan dengan cara tertentu sehingga memberikan kemudahan dalam pengelolaannya. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.06/2007 tentang Penggolongan dan Kodefikasi Barang Milik Negara sebagai pengganti Keputusan Menteri Keuangan Nomor 18/KMK.018/1999 tentang Klasifikasi dan Kodefikasi Barang Inventaris Milik/Kekayaan Negara membagi BMN dalam klasifikasi Golongan, Bidang, Kelompok, Sub Kelompok, dan Sub-sub kelompok.
Golongan BMN meliputi: Barang Tidak Bergerak; Barang Bergerak; Hewan, Ikan dan Tanaman, Barang Persediaan, Konstruksi Dalam Pengerjaan, Aset Tak Berwujud dan Golongan Lain-lain. Dari masing-masing Golongan tersebut selanjutnya dirinci lagi ke dalam klasifikasi bidang, kelompok, sub kelompok, dan sub-sub kelompok. Dengan demikian, klasifikasi paling rinci (detil) ada di level Sub-sub kelompok.
III. JENIS TRANSAKSI BARANG MILIK NEGARA
1.
Saldo Awal
1)
Saldo
akhir periode sebelumnya, merupakan akumulasi dari seluruh transaksi BMN
periode sebelumnya
2)
Koreksi
saldo, merupakan koreksi perubahan atas saldo akhir BMN periode sebelumnya yang disebabkan :
a.
adanya
koreksi pencatatan atas nilai/kuantitas BMN yang telah dicatat dan telah
dilaporkan dalam periode sebelumnya, dan
b.
penambahan/pengurangan sebagai akibat
dari pelaksanaan inventarisasi.
2.
Perolehan BMN
1)
Pembelian,
merupakan transaksi perolehan BMN dari hasil pembelian.
2)
Transfer
Masuk, merupakan transaksi perolehan BMN dari hasil transfer masuk dari UPKPB
yang lain dalam satu departemen.
3)
Hibah,
merupakan transaksi perolehan BMN dari hasil penerimaan dari pihak ketiga
diluar instansi.
4)
Rampasan,
merupakan transaksi perolehan
BMN dari hasil rampasan berdasarkan putusan pengadilan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum yang sah.
5)
Penyelesaian
Pembangunan, merupakan transaksi perolehan BMN dari hasil penyelesaian pembangunan berupa bangunan /gedung
dan BMN lainnya melalui BAST.
6)
Pelaksanaan
dari perjanjian/kontrak, merupakan barang yang diperoleh dari pelaksanaan
kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah/bangun serah guna, tukar menukar, dan
perjanjian/kontrak lainnya;
7)
Pembatalan
Penghapusan, merupakan pencatatan BMN dari hasil pembatalan penghapusan yang
sebelumnya telah dihapuskan / dikeluarkan dari pembukuan.
8)
Reklasifikasi
Masuk, merupakan transaksi BMN yang sebelumnya telah dicatat dengan
penggolongan dan kodefikasi BMN yang lain.
3.
Perubahan BMN
1)
Pengurangan,
merupakan transaksi pengurangan kuantitas/nilai BMN yang menggunakan satuan
luas atau satuan lain yang pengurangannya tidak
menyebabkan keseluruhan BMN hilang.
2)
Pengembangan,
merupakan transaksi pengembangan BMN yang dikapitalisir yang mengakibatkan
pemindahbukuan dari Buku Barang Ekstrakomptabel ke Buku Barang Intrakomptabel
atau perubahan nilai/satuan BMN dalam Buku BarangIntrakomptabel.
3)
Perubahan
Kondisi, merupakan pencatatan perubahan kondisi BMN.
4)
Revaluasi,
merupakan transaksi perubahan nilai BMN yang dikarenakan adanya nilai baru dari
BMN yang bersangkutan sebagai akibat dari pelaksanaan penilaian BMN.
4.
Pengurangan BMN
1)
Penghapusan,
merupakan transaksi untuk menghapus BMN dari pembukuan berdasarkan suatu surat
keputusan pengahapusan oleh instansi yang berwenang;
2)
Transfer
Keluar, merupakan transaksi penyerahan BMN dari hasil transfer keluar dari unit
lain dalam satu departemen tanpa menerima sejumlah
sumber daya ekonomi.
3)
Hibah
keluar, merupakan
transaksi penyerahan BMN kepada pihak ketiga. diluar
departemen tanpa menerima sejumlah sumber daya ekonomi.
4)
Reklasifikasi
Keluar, merupakan transaksi
BMN ke dalam klasifikasi BMN yang lain. Transaksi ini berkaitan
dengan transaksi Reklasifikasi Masuk.
IV. BARANG
MILIK NEGARA ; PERSEDIAAN DAN AKTIVA TETAP
Menurut
PSAP Nomor 05 disebutkan bahwa persediaan mencakup barang atau perlengkapan
yang dibeli dan disimpan untuk digunakan, misalnya barang habis pakai seperti
alat tulis kantor, barang tak habis pakai seperti komponen
peralatan dan pipa, dan barang bekas pakai seperti komponen bekas. Tujuan
penyusunan pedoman mengenai penatausahaan persediaan adalah memberi petunjuk
kepada organisasi yang terkait dalam pelaksanaan pencatatan dan pelaporan
persediaan agar organisasi tersebut memiliki persepsi yang sama sehingga
tercapai keseragaman dalam penatausahaan persediaan.Sedangkan tujuan
penatausahaan persediaan adalah :
1.
Menyediakan informasi yang akurat
dan tepat waktu tentang persediaan;
2.
Mengamankan transaksi persediaan
melalui pencatatan, pemrosesan dan pelaporan transaksi keuangan yang konsisten;
Mendukung penyelenggaraan SAPP yang menghasilkan informasi persediaan sebagai
dasar pertanggungjawaban dan pengambilan keputusan.
Ruang Lingkup Akuntansi Persediaan ini berlaku untuk seluruh
unit organisasi pemerintah pusat yang mengelola persediaan. Unit organisasi pemerintah tersebut terdiri dari:
1.
Lembaga Tinggi Negara;
2.
Kementerian Negara/Lembaga Tidak
termasuk dalam ruang lingkup akuntansi persediaan ini adalah: 1 Pemerintah
Daerah; 2 BUMN/BUMD;
3.
Bank Pemerintah dan Lembaga Keuangan
Milik Pemerintah.
V.
PENATAUSAHAAN PERSEDIAAN
Mekanisme Penatausahaan Persediaan Penatausahaan persediaan
dilaksanakan oleh UAKPB sesuai dengan PMK nomor 59/PMK.06/2005 tentang Sistem
Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. Dalam menatausahakan persediaan, UAKPB
juga harus mengacu kepada Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor
18/KMK.018/1999. Persediaan dicatat dalam Buku
Persediaan (dalam bentuk kartu) untuk setiap jenis barang. Berdasarkan saldo per jenis persediaan pada Buku Persediaan disusun
Laporan Persediaan. Laporan Persediaan disusun menurut
Subkelompok Barang dan dilaporkan setiap semester. Laporan
Persediaan dibuat didasarkan pada saldo pada akhir periode pelaporan
berdasarkan hasil opname fisik.
Laporan Persediaan dari UAKPB dikirimkan ke UAPPB-W. Laporan Persediaan pada tingkat UAPPB-W
sampai dengan UAPB dibuat berdasarkan penggabungan Laporan Persediaan
organisasi BMN di bawahnya dan disajikan dalam Bidang Barang. Sebagai pengganti Buku Persediaan pada tingkat UAPPB-W/UAPPBE1/UAPB
adalah arsip Laporan Persediaan dari seluruh organisasi BMN di bawahnya.
UAKPB membuat mapping data persediaan berdasarkan Laporan
Persediaan dan harga pembelian terakhir yang diperoleh dari UAKPA.
Penyajian
perkiraan persediaan dalam Neraca didasarkan pada hasil proses mapping
klasifikasi BMN sesuai Keputusan Menteri Keuangan nomor 18/KMK.018/1999 dengan
perkiraan buku besar neraca.
Pelaporan
Dokumen yang digunakan dalam pelaksanaan pencatatan persediaan adalah sebagai berikut :
a)
Surat Perintah Pencairan Dana
(SP2D), Surat Perintah Membayar (SPM) dan dokumen pendukung lainnya.( Faktur,
Kuitansi, Kontrak/SPK, Berita Acara Serah Terima);
b)
Buku Persediaan. Laporan yang
dihasilkan: a Laporan Persediaan; b Laporan Hasil Mapping.
Berikut ini adalah contoh petunjuk pengisian dan bentuk Buku
Persediaan, Laporan Persediaan, dan Laporan Hasil Mapping.
1)
Buku Persediaan
·
Buku Persediaan dibuat dalam bentuk
kartu untuk setiap jenis (item) barang. Pada setiap buku persediaan dicantumkan
kode dan uraian sub-sub kelompok barang untuk barang yang dapat
diklasifikasikan sesuai SK Menkeu nomor 18/KMK.018/1999;
·
Buku persediaan diisi setiap ada
mutasi barang persediaan, seperti pembelian, hibah dan mutasi penggunaan barang
persediaan;
·
Setiap akhir tahun perlu diadakan
inventarisasi persediaan untuk menentuka kuantitas dari setiap item persediaan
dan selanjutnya buku persediaan disesuaikan berdasarkan hasil inventarisasi
tersebut;
·
Buku Persediaan dikelola oleh
petugas yang menangani persediaan.
2)
Laporan Persediaan
·
Laporan Persediaan dibuat setiap
akhir semester pada suatu periode akuntansi untuk melaporkan nilai persediaan
pada akhir semester.
·
Laporan Persediaan dibuat oleh
Petugas yang menangani persediaan dan diketahui oleh penanggung jawab UAKPB;
·
Laporan Persediaan harus memberikan
informasi jumlah persediaan yang rusak atau usang. Persediaan yang telah usang
adalah persediaan yang tidak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan operasional
bukan hanya karena usianya tapi juga karena sudah ketinggalan teknologi atau
ketidaksesuaian spesifikasi.
3)
Laporan Hasil Mapping
·
Laporan Hasil Mapping dibuat setiap
akhir semester pada suatu periode akuntansi serta setelah membuat Laporan
Persediaan.
·
Laporan Hasil Mapping memberikan
informasi jumlah nilai serta kuantitas persediaan berdasarkan Laporan
Persediaan yang disesuaikan menjadi nilai serta kuantitas persediaan
berdasarkan Bagan Perkiraan Standar (PMK nomor 13/PMK.06/2005).
·
Laporan Persediaan dibuat oleh
Petugas yang menangani persediaan dan diketahui oleh penanggung jawab UAKPB.
Siklus
Akuntansi Persediaan (Flowchart) Akuntansi persediaan oleh UAKPB dapat
dilakukan secara manual atau menggunakan aplikasi persediaan, maksudnya:
1.
Apabila akuntansi persediaan sudah
dilakukan dengan menggunakan aplikasi persediaan maka jurnal penyesuaian
persediaan akan terbentuk secara otomatis dari sistem
aplikasi persediaan. UAKPB mengirimkan file data jurnal penyesuaian kepada
UAKPA.
2.
Apabila akuntansi persediaan belum
menggunakan aplikasi persediaan, maka jurnal penyesuaian persediaan dibuat
dengan menggunakan formulir jurnal aset (FJA) oleh UAKPA. Selanjutnya UAKPA
merekam data persediaan menggunakan aplikasi SAI tingkat Satuan Kerja. Untuk
UAKPA yang belum menggunakan aplikasi persediaan, pada setiap akhir semester
harus membuat jurnal aset untuk mencatat nilai persediaan berdasarkan Laporan
Persediaaan dan Laporan Hasil Mapping yang diterima dari UAKPB. Nilai rupiah
yang dicantumkan dalam jurnal adalah nilai rupiah persediaan hasil mapping. Jurnal
tersebut direkam melalui Aplikasi SAK untuk menyusun Laporan Keuangan berupa
Neraca. Hasil mapping disajikan dalam CaLK.
Proses Akuntansi 1 KMK Nomor 18/KMK.018/1999 tentang
Kodefikasi Barang Milik Negara Setelah UAKPB melakukan inventarisasi fisik, hal
yang selanjutnya dilakukan adalah menyesuaikan kode barang persediaan
berdasarkan KMK nomor 18/KMK.018/1999 tentang Kodefikasi Barang Milik Negara.
Mapping BPS Setelah kode barang persediaan disesuaikan
dengan KMK nomor 18/KMK.018/1999 UAKPB melakukan mapping atas kode barang
persediaan terhadap kode barang sesuai PMK nomor 13/PMK.06/2005 tentang Bagan
Perkiraan Standar. UAKPB membuat
mapping data persediaan berdasarkan harga pembelian yang diperoleh dari UAKPA.
Hasil mapping tersebut digunakan sebagai dasar penyajian
nilai perkiraan persediaan dalam neraca.
3.
Jurnal Persediaan Jurnal adalah
pencatatan transaksi pertama kali dimana satu transaksi akan
mempengaruhi dua atau lebih perkiraan, satu sisi sebagai debet dan sisi lainnya
sebagai kredit. Satuan kerja membuat jurnal persediaan agar dapat menyajikan nilai
persediaan dalam neraca
Pelaporan Persediaan 1 Penyajian Persediaan dalam Neraca. Setiap semester UAKPB membuat Laporan
Persediaan beserta data transaksi serta menyerahkan laporan beserta data
transaksi tersebut kepada unit vertikal di atasnya untuk dikompilasi. UAKPB juga menyerahkan laporan beserta data transaksi tersebut
kepada UAKPA. Untuk selanjutnya berdasarkan laporan
tersebut, UAKPA membuat jurnal penambahan/pengurangan nilai persediaan. Berdasarkan jurnal tersebut, akun persediaan disajikan neraca.2
Pengungkapan Persediaan dalam Catatan atas Laporan Keuangan.
Persediaan
disajikan di neraca sebesar nilai moneternya dan diungkapkan dalam Catatan atas
Laporan Keuangan (CaLK), berupa : a Kebijakan akuntansi yang digunakan dalam
pengukuran persediaan; b Penjelasan lebih lanjut persediaan seperti barang atau
perlengkapan yang digunakan dalam pelayanan masyarakat, barang atau
perlengkapan yang digunakan dalam proses produksi, barang yang disimpan untuk
dijual atau diserahkan kepada masyarakat, dan barang yang masih dalam proses
produksi yang dimaksudkan untuk dijual atau diserahkan kepada masyarakat; c
Kondisi persediaan; d Hal-hal lain yang perlu diungkapkan berkaitan dengan
persediaan, misalnya persediaan yang diperoleh melalui hibah atau rampasan.
Sedangkan untuk persediaan bahan baku dan perlengkapan
yang dimiliki proyek swakelola dan dibebankan ke suatu perkiraan aset untuk
kontruksi dalam pengerjaan, tidak dimasukkan sebagai persediaan.
VI. AUDIT
BELANJA BARANG MILIK NEGARA
Terdapat lima asersi yang menjadi tujuan pemeriksaan belanja barang
dan persediaan. Tujuan pemeriksaan tersebut adalah untuk
pengujian keberadaan dan keterjadian, kelengkapan, penilaian, hak dan kewajiban
serta pengungkapan. Berikut akan dijelaskan
satu persatu pengujian yang dilakukan untuk asersi-asersi tersebut.
1.
Keberadaan dan keterjadian
Tujuan
dari pengujian ini adalah untuk meyakini apakah nilai persediaan yang disajikan
di dalam laporan keuangan benar-benar ada dan persediaan negara benar-benar
dimiliki oleh pemerintah pusat.
Pengendalian
intern kunci pada pengujian ini adalah (1) adanya pemisahan fungsi dari pembuat
kebijakan, pengelola persediaan, pengadaan, pembayaran kas,dan akuntansi, (2)
realisasi pengadaan persediaan telah diotorisasi oleh pejabat yang berwenang,
(3) pemeriksaan fisik persediaan secara reguler dan (4) otorisasi penggunaan
persediaan.
Risiko yang
muncul atas pengujian asersi ini, diantaranya:
1.
Persediaan
dianggarkan, tetapi tidak sesuai dengan kebutuhan.
2.
Persediaan
tidak dianggarkan.
3.
Perangkapan
fungsi
4.
Pemisahan
fungsi secara desain tetapi implementasi tidak terjadi
5.
Tidak
dilakukan pemeriksaan fisik barang atau pemeriksaan fisik formalitas.
6.
persediaan yang dilaporkan
tidak ada dokumen kepemilikannya.
7.
Persediaan
dikuasai pihak lain secara tidak sah.
8.
Persediaan
tidak dilaporkan.
Pengujian
pengendalian intern dapat berupa:
1.
Meneliti
apakah belanja barang telah dianggarkan dan sesuai dengan kebutuhan
2.
Meneliti
pemisahan fungsi realisasi pengadaan persediaan desain maupun implementasinya.
3.
Meneliti
secara uji petik apakah realisasi belanja barang telah diotorisasi oleh pejabat
yang berwenang.
4.
Meneliti
apakah persediaan tersebut telah diperiksa secara fisik dengan sebenarnya.
5.
Meneliti
apakah persediaaan yang dilaporkan telah diinventarisasi kepemilikannya.
6.
Meneliti
apakah semua persediaaan yang dimiliki dikuasai untuk digunakan
Pengujian
substantif yang dapat dilakukan, diantaranya:
1.
Meneliti
secara uji petik pengadaan persediaan apakah telah dianggarkan dalam dokumen
anggaran dan meneliti apakah telah sesuai kebutuhan.
2.
Meneliti
secara uji petik apakah anggaran dan realisasi belanja barang telah dibukukan
dalam LRA dan Neraca.
3.
Periksa
fisik aset tersebut secara uji petik dan dokumen kepemilikannya dan pastikan
bukan penitipan pihak lain.
4.
Periksa
dokumen dan catatan aset tetap/barang milik negara apakah telah dilaporkan
dalam neraca.
5.
Meneliti
apakah terdapat perselisihan mengenai status aset.
6.
Lakukan
pemeriksaan fisik atas persediaan akhir yang diuji dan buat berita acara segera
setelah pemeriksaan fisik.
7.
Meneliti
apakah ada persediaan yang sudah usang tetapi masih dicatat dan disimpan oleh
auditee
8.
Lakukan
wawancara untuk mengetahui apakah ada barang-barang persediaan yang merupakan
titipan pihak lain
2.
Kelengkapan
Tujuan dari pengujian ini adalah untuk meyakini
apakah seluruh transaksi belanja barang telah dicatat dalam LRA baik anggaran
maupun realisasinya serta aset tetapnya yang relevan pada neraca dan untuk
mengetahui dan meyakini bahwa Investasi telah mencakup semua transaksi pada
periode pelaporan.
Risiko yang
muncul atas pengujian asersi ini, diantaranya:
1.
Belanja
barang tidak/kurang dicatat karena tidak ada SP2D
2.
Persediaan
yang dipeoleh dari belanja barang yang telah direalisasikan tidak dicatat.
3.
Adanya
dokumen fiktif belanja barang negara.Salah pencatatan (oversated dan
undersated).
4.
Pemalsuan
dokumen transaksi belanja barang.Dokumen pendukung pencatatan kurang lengkap.
5.
Pengeluaran
kas tidak/kurang dicatat karena tidak ada SP2D
Pengujian
pengendalian intern dapat berupa:
1.
Meneliti
urutan nomor dan tanggal SPM, apakah telah diperoleh SP2D dan dibukukan.
2.
Meneliti
apakah terdapat SP2D yang belum diperoleh atas SPM yang telah dikeluarkan untuk
belanja barang.
3.
Meneliti
apakah pencatatan belanja barang tersebut seluruhnya telah dicatat sebagai
persediaan yang relevan.
4.
Meneliti
pencatatan penerimaan dan pengeluaran barang, periksa dokumen, dan otoritas
pejabat berwenang.
Pengujian
substantif yang dapat dilakukan, diantaranya:
1.
Meneliti
urutan nomor dan tanggal SPM, apakah telah diperoleh SP2D dan dibukukan.
2.
Meneliti
apakah terdapat SP2D yang belum diperoleh atas SPM yang telah dikeluarkan untuk
belanja barang.
3.
Meneliti
apakah pencatatan belanja barang tersebut seluruhnya telah dicatat sebagai
persediaan yang relevan.
4.
Tetiti
pencatatan penerimaan dan pengeluaran barang, periksa dokumen, dan otoritas
pejabat berwenang.
5.
Meneliti
urutan nomor dan tanggal SPM, apakah telah diperoleh SP2D dan dibukukan.
6.
Meneliti
apakah terdapat SP2D yang belum diperoleh atas SPM yang telah dikeluarkan untuk
belanja barang.
7.
Meneliti
apakah pencatatan belanja barang tersebut seluruhnya telah dicatat sebagai
persediaan yang relevan.
8.
Tetiti
pencatatan penerimaan dan pengeluaran barang, periksa dokumen, dan otoritas
pejabat berwenang.
3.
Penilaian
Tujuan
dari pengujian ini adalah untuk meyakini apakah Transaksi belanja barang dan
persediaan yang relevan telah dicatat sesuai dengan nilai yang semestinya, dan
perhitungan yang tepat. Pengendalian intern kunci pada pengujian ini adalah
adanya prosedur verifikasi intern atau reviu atas nilai realisasi belanja
barang dan persediaan telah dilakukan dan penilaian kembali persediaan pada
neraca awal pertama kali dengan nilai wajar
Risiko yang
muncul atas pengujian asersi ini, diantaranya:
1.
Anggaran
dan realisasi belanja barang salah dibukukan dan dilaporkan
2.
Persediaan
yang diperoleh sebelum neraca awal belum dinilai dengan nilai wajar.
Pengujian
pengendalian intern dapat berupa:
1.
Meneliti
apakah telah dilakukan verifikasi intern atau reviu atas dokumen belanja barang
dan meneliti apakah hasilnya telah ditindaklanjuti.
2.
Meneliti
apakah persediaan yang diperoleh sebelum neraca awal telah dinilai kembali.
Pengujian
substantif yang dapat dilakukan, diantaranya:
1.Meneliti secara uji petik
(dokumen anggaran dan realisasi belanja barang apakah telah benar
perhitungannya).
2.Meneliti secara uji petik atas
dokumentasi persediaan terkait dengan belanja barang apakah telah benar
perhitungannya.
3.Meneliti secara uji petik apakah
persediaan yang dilaporkan dalam neraca telah dinilai kembali dengan nilai
wajar (aset yang diperoleh sebelum neraca awal).
4.
Hak dan Kewajiban
Tujuan
dari pengujian ini adalah untuk meyakini bahwa belanja barang direalisasikan
atas persediaan yang relevan. Pengendalian intern
kunci pada pengujian ini adalah pengawasan atau reviu atas belanja barang dan
persediaan terkait.
Risiko yang
muncul atas pengujian asersi ini, diantaranya:
1.
Pengawasan
intern atas aset dari belanja lemah.
2.
Belanja
pemeliharaan yang dapat dikapitalisasi atas aset (tidak menambah nilai aset).
3.
Belanja
barang direalisasikan tetapi persediaan dimiliki dan atau dikuasai oleh pihak lain secara tidak sah.
Pengujian
pengendalian intern dapat dilakukan dengan:
1.
Meneliti
secara uji petik pengawasan atas persediaan.
2.
Meneliti
perjanjian penitipan oleh pihak ketiga, dokumen-dokumen pendukung dan nilai
barang. Apakah ada penetapan atau proses verifikasi dan otorisasi dalam
penetapan nilai persediaan.
Pengujian
substantif yang dapat dilakukan dengan meneliti
secara uji petik terhadap dokumen belanja barang dan persediaan, apakah
terdapat aset yang dikuasai pihak lain.
5.
Pengungkapan
Tujuan
dari pengujian ini adalah untuk meyakini anggaran dan realisasi belanja barang
serta persediaan telah diungkapkan secara memadai dalam laporan keuangan dan
sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Pengendalian
intern kunci pada pengujian ini adalah pada pengawasan intern atau reviu atas
klasifikasi akun dan pengungkapan belanja barang
dan persediaan telah memadai dan terdapat kebijakan akuntansi, sistem dan
prosedur penyusunan laporan keuangan, serta verifikasi internal.
Risiko yang
muncul atas pengujian asersi ini, diantaranya:
1.
Pengawasan
atau reviu atas klasifikasi dan pengungkapan lemah.
2.
Klasifikasi
belanja barang dan persediaaan tidak sesuai dengan SAP
3.
Pengungkapan
barang dan persediaan tidak dan atau kurang memadai.
4.
Pengungkapan
transaksi kas tidak/kurang memadai.Salah saji (oversated dan understated)
Terdapat
pencatatan persedian ganda, pencapuradukan persediaan (tidak terklasifkasi)
Pengujian
pengendalian intern dapat berupa:
1.
Meneliti
pengawasan atau reviu atas klasifikasi dan pengungkapan atas persediaan telah
dilakukan dan hasilnya memadai.
2.
Meneliti
apakah pengungkapan belanja barang dan persediaan dalam catatan atas laporan
keuangan telah memadai (sesuai SAP).
3.
Reviu
kebijakan akuntansi terkait dengan penyajian saldo persediaan dan telaah
kesesuaiannya dengan standar akuntansi pemerintah.
4.
Reviu
pelaksanaan penyusunan laporan dan verifikasi internal untuk memastikan bahwa
pengungkapan atas penyajian saldo persediaan telah memadai (sesuai SAP)
5.
Meneliti
apakah persediaan yang diperoleh dicatat dengan menggunakan identifikasi yang
memadai.
6.
Meneliti
apakah terdapat prosedur untuk persediaan yang rusak, kedaluarsa dan hilang dan
dapatkan dokumen pencatatan atas kondisi persediaan tersebut.
Pengujian
substantif yang dapat dilakukan, diantaranya:
1.
Meneliti
klasifikasi akun belanja barang dan persediaan pada laporan keuangan apakah
telah sesuai denfgan SAP.
2.
Meneliti
secara uji petik dokumentasi belanja barang dan persediaan khususnya terhadap
kondisi dan status aset apakah telah diungkapkan secara mamadai dalam catatan
atas laporan keuangan.
3.
Meneliti
apakah seluruh penyajian dan pengungkapan saldo persediaan di neraca telah
memadai.
4.
Dalam
pemeriksaan fisik atas persediaan akhir, inventarisir jumlah persediaan yang
rusak, kadaluarsa dan hilang.
5.
Bandingkan
dengan catatan persediaan yang ada
EmoticonEmoticon